Dikisahkan, di sebuah kerajaan, sang raja sangat mencintai istrinya yang
cantik jelita. Semua keinginan sang permaisuri selalu dipenuhi. Di
antara barang-barang mewah kepunyaannya, sang permaisuri sangat menyukai
sepatu. Dia mengkoleksi ribuan sepatu. Dimanapun ada perancang sepatu
yang terkenal, maka sang permaisuri memiliki koleksinya.
Saking banyak sepatunya, bila permaisuri hendak pergi, minimal beliau
butuh waktu lebih dari 1 jam untuk memilih sepasang sepatu yang akan
dikenakan. Itu menyebabkan sang permaisuri tertekan, mengalami sakit
kepala hingga ke tulang belakang. Dari hari ke hari, penyakitnya semakin
parah dan tidak kunjung membaik. Banyak dokter didatangkan ke istana
untuk mengobati permaisuri, tetapi tidak ada satupun yang berhasil.
Akhirnya raja membuat sayembara, “Barang siapa yang bisa menyembuhkan
penyakit sang permaisuri akan diberi hadiah 50 keping emas.” Maka
seluruh rakyat negeri itu pun berusaha mengerahkan berbagai macam cara
untuk menyembuhkan ratu mereka, tetapi tidak juga berhasil.
Suatu hari, datang seorang pengemis ke istana. Walaupun berusaha
diusir, tetapi si pengemis berteriak-teriak gaduh, memohon diizinkan
bertemu permaisuri. Kebetulan sang permaisuri mendengar dan membolehkan
si pengemis bertemu dengannya.
“Permaisuri yang cantik jelita, apa gerangan sakit yang diderita..?”
Tanpa basa-basi, permaisuri pun menceritakan sakit dan penderitaannya.
“Oooh hamba mengerti sekarang. Sekarang, tolong perhatikan sekujur
tubuh hambamu ini. Lihat, kedua kaki hamba ini, cacat dari lutut k
ebawah karena dimangsa binatang buas saat mencari kayu di hutan. Memang
kaki hamba tidak utuh lagi, tetapi hamba masih hidup! Dan itu anugerah
terbesar buat hamba. Dan saat ini, hamba kembali bersyukur. Tidak harus
sakit seperti putri, karena hamba tidak butuh sepatu yang harus
dipakai."
Setelah mendengar perkataan si pengemis, sang permaisuri mendadak
berseru gembira, “Aha, terima kasih, Paman! Dibandingkan paman yang
tidak memiliki kaki, saya harusnya bersyukur masih memiliki sepasang
kaki yang utuh. Saya akan berikan sepatu-sepatu itu kepada orang lain
dan saya sisakan beberapa saja. Dengan demikian, saya tidak perlu
kebingungan karena harus memilih sepatu. Mudah-mudahan sakit saya pun
akan pergi bersama sepatu-sepatu itu. Terima kasih sekali lagi, Paman”.
Sering kali, manusia lupa bersyukur dan sibuk mengeluh (misalnya tidak
memiliki sepatu yang bagus) sampai akhirnya tersadarkan saat dia bertemu
dengan orang yang hanya memiliki sepasang sepatu butut atau bahkan
tidak memiliki kaki sama sekali.
Mempunyai keinginan atau cita-cita besar boleh-boleh saja, asal bukan
dilandasi dengan perasaan serakah dan benci. Bila mengejar cita-cita
dengan landasan berpikiran yang salah, maka pasti akan berakhir dengan
ketidakbahagiaan. Lalu untuk apa punya kelebihan atau sukses tapi tidak
bahagia? Jadi tentu... mampu bersyukur juga merupakan suatu kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar