Alkisah, sebuah liburan panjang diisi oleh sekumpulan sahabat untuk
melakukan reuni. Sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah dan baru
tahun itu mereka bisa berkumpul. Untuk itu, mereka sepakat untuk menemui
gurunya ketika bersekolah dulu. Mereka hendak berterima kasih, bahwa
dengan ajaran dari sang guru, mereka kini telah sukses dengan bidangnya
masing-masing.
Maka, di sebuah sore yang hangat, mereka pun datang bersama-sama
mengunjungi sang guru. Mereka saling bercanda, mengenang masa kenakalan
ketika remaja. Kemudian satu sama lain mulai berkisah tentang perjuangan
hidup yang mereka lalui. Ada yang sudah jadi bos besar di perusahaan
multinasional. Ada pula yang menjadi pengusaha sukses di bidang
transportasi. Ada pula yang mengaku sudah melanglang buana ke hampir
semua benua untuk memenuhi impiannya.
Melihat percakapan seputar kesuksesan yang sudah hampir melampaui
batas, sang guru pun meminta izin untuk ke belakang rumah. Rupanya, ia
mengambil beberapa cangkir kopi dan satu teko berisi kopi panas yang
siap diseduh. Uniknya, cangkir yang diberikan terdiri dari beragam
bentuk dan terdiri pula dari beragam bahan. Ada yang dari keramik,
kristal, kaca, melamin, dan ada pula yang hanya terbuat dari plastik
biasa.
“Sudah, sudah.. Ngobrolnya berhenti dulu. Ini Bapak sudah siapkan kopi
buat kalian,” sebut sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.
Hampir serempak, mereka kemudian berebut cangkir terbaik yang bisa
mereka dapat. Akhirnya, di meja yang tersisa hanya satu buah cangkir
plastik yang paling jelek. Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya,
sang guru pun mulai menuangi cangkir itu dengan kopi panas dari teko
yang telah disiapkannya.
“Mari, silakan diminum,” ajak sang guru, yang kemudian ikut mengisi
kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek. “Bagaimana
rasanya? Nikmat kan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri.”
“Wah, enak sekali Pak.. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum,”
timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.
“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian tadi memperhatikan. Kalian
hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang paling bagus hingga hanya
menyisakan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.
Murid-murid itu pun saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya, apa
maksud gurunya bertanya seperti itu. Maka sang guru pun kembali
meneruskan ucapannya. “Tak salah memang untuk memilih apa saja yang
terbaik. Malahan, itu sangat manusiawi. Tapi masalahnya, ketika kalian
tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu.
Kalian melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai
membandingkannya. Akibatnya, pikiran kalian terfokus pada cangkir.
Padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkir, melainkan kopinya. Dan,
kalian sendiri mengaku bahwa kopi ini adalah kopi terenak. Jadi, tolong
pikirkan baik-baik. Hidup kita seperti kopi dalam cangkir tersebut. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kalian miliki.”
Sang guru pun kembali meneruskan wejangannya. “Karena itu, jangan
pernah biarkan cangkir memengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir
bukanlah yang utama, sebab kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan
berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus, dan pekerjaan
mapan yang kalian banggakan tadi merupakan jaminan kebahagiaan. Namun
sejatinya, kualitas hidup kita ditentukan oleh ‘apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’.
Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan
damai, sukacita, dan rasa bahagia dalam kehidupan kita? Itu sangat
menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang
disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal. Jadi, kunci
menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus
kualitas kopinya.”
Semua murid itu pun tertunduk malu. Mereka merasakan inilah reuni yang
membuat mereka kembali “membumi”. Mereka pun berjanji, akan menjadikan
pembelajaran cangkir kopi tersebut untuk menjadikan sukses yang diraih
memberi kemanfaatkan kepada lebih banyak orang, dan bukannya menjebak
mereka dalam kesombongan.
Status, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan, kesuksesan,
keterkenalan, adalah sebuah predikat yang disandang. Tak salah jika kita
mengejarnya. Tak salah pula bila kita ingin memilikinya. Namun, semua
itu tak akan kita miliki selamanya. Semua hanya akan langgeng jika
kita sebagai subjek—alias pemilik sejati kekayaan yang
sebenarnya—memiliki kualitas dalam diri yang bersih, bernilai,
bermartabat, dan penuh kebersahajaan.
Ibarat pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka nama seperti apa
yang akan dikenang orang, itulah cerminan sejati apa yang sudah kita
berikan pada sekeliling kita selama ini. “Nama” itulah “isi kopi”
sesungguhnya yang harus kita jaga, rawat, dan sekaligus kita bagi untuk
mendatangkan kemanfaatan pada lebih banyak orang.
Mari, kita jadikan “isi” dalam diri kita sebagai cerminan positif yang
bisa selalu kita hadirkan untuk mendatangkan keberkahan, kebahagiaan,
dan kesuksesan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar