Dikisahkan, seorang janda miskin hidup berdua dengan putri
kecilnya yang masih berusia sembilan tahun. Kemiskinan memaksanya untuk
membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar demi kelangsungan
hidup mereka. Hidup penuh kekurangan membuat si kecil tidak pernah
bermanja-manja kepada ibunya seperti anak-anak kecil lainnya.
Suatu hari di musim dingin, saat selesai membuat kue, si ibu tersadar
melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia pun keluar rumah
untuk membeli keranjang baru dan berpesan kepada putrinya agar menunggu
saja di rumah. Pulang dari membeli keranjang, si ibu menemukan pintu
rumah tidak terkunci dan putrinya tidak ada di rumah. Spontan amarahnya
memuncak. Putri betul-betul tidak tahu diri! Cuaca dingin seperti ini,
disuruh diam di rumah sebentar saja malahan pergi bermain dengan
teman-temannya!
Setelah selesai menyusun kue di keranjang, si ibu segera pergi untuk
menjajakan kuenya. Dinginnya salju yang memenuhi jalanan tidak
menyurutkan tekadnya demi kehidupan mereka. Dan sebagai hukuman untuk si
putri, pintu rumah di kuncinya dari luar. "Kali ini Putri harus diberi
pelajaran karena telah melanggar pesan," geram si ibu dalam hati.
Sepulang dari menjajakan kue, mata si ibu mendadak nanar saat menemukan
gadis kecilnya tergeletak di depan pintu. Dengan berteriak histeris
segera dipeluknya tubuh putrinya yang telah kaku karena kedinginan.
Dengan susah payah dipindahkannyalah tubuh putri ke dalam rumah.
"Putri...Putri...Putri..., bangun, Nak! Ini ibu, Nak! Bangun, Nak! Ibu
tidak marah kok. Bangun Putri anakku!" Serunya sambil menangis
merung-raung dan berusaha sekuat tenaga membangunkan dengan
menguncang-guncangkan tubuh si putri agar terbangun. Tetapi putri tidak
bereaksi sama sekali.
Tiba-tiba terjatuh dari genggaman tangan si putri sebuah bungkusan
kecil. Saat dibuka, ternyata di dalamnya berisi sebungkus kecil biskuit
dan secarik kertas usang. Dengan tergesa-gesa dan tangan yang gemetar
hebat, si ibu segera mengenali tulisan putrinya yang masih berantakan
tetapi terbaca jelas.
"Ibuku tersayang, Ibu pasti lupa hari istimewa Ibu ya. Hi... hi...
hi..., ini Putri belikan biskuit kesukaan ibu. Maaf Bu, uang putri tidak
cukup untuk membeli yang besar dan maaf lagi Putri telah melanggar
pesan Ibu karena meninggalkan rumah untuk membeli biskuit ini. Selamat
ulang tahun, Bu. Putri selalu sayang, Ibu!" Dan meledaklah tangis sang
ibu.
Prasangka sering mendatangkan petaka adalah kalimat yang cocok dengan
kisah tadi dan penyesalan biasanya datang menyusul di belakang itu.
Begitu banyak masalah dan problem di dunia ini muncul karena prasangka
negatif maka butuh kedewasaan dalam mengendalikan pikiran agar kebiasaan
berprasangka tidak kita layani begitu saja dan sedapat mungkin kita
hilangkan. Kita ganti dengan berfikir positif sekaligus hati-hati dengan
demikian memungkinkan hubungan kita dengan orang lain akan menjadi
harmonis dan membahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar