Kamis, 28 November 2013

Dikisahkan seorang pemuda miskin, demi memenuhi panggilan kerja yang mendesak dan sesegera mungkin, dia harus menempuh perjalanan cukup jauh ke luar kota. Dia tahu, mobil tua yang dimiliki sebenarnya tidak layak digunakan untuk perjalanan jarak jauh, tetapi keadaan memaksa, sehingga akhirnya diputuskan tetap berangkat dengan mobil tua tersebut.

Di tengah perjalanan yang sepi, senja berselimut kegelapan tiba diiringi hujan yang turun dengan deras. Tiba-tiba yang dikuatirkan terjadi juga, setelah beberapa kali terbatuk-batuk, mesin mobil akhirnya mati. Segala usaha yang serba terbatas telah dilakukan, tetapi sia-sia belaka, mobil tetap diam. Dikelilingi kegelapan malam, hujan dan badai terasa semakin tidak bersahabat. Selama beberapa jam tidak ada mobil yang melintas, si pemuda hanya bisa duduk termenung di dalam mobil meratapi nasibnya.

Tiba-tiba.... sekilas terlihat melalui kaca spion, sorotan lampu mobil mendekat dan berhenti di belakang mobil si pemuda. Diselimuti perasaan takut tetapi lebih pada rasa gembira, si pemuda melihat pengendara mobil turun mendatangi jendela mobilnya. Karena cuaca sangat gelap, hampir-hampir wajah si pengendara tidak terlihat dengan jelas.

"Mesin mobil saya mati!" serunya sambil menurunkan kaca jendela mobil. Kemudian orang yang tidak dikenal itu melangkah ke depan mobil dan membuka tutup mesin, mengulurkan tangannya dan entah apa yang dilakukan, tidak lama kemudian dia memberi isyarat agar memutar kunci kontak. Alangkah terkejut dan mengherankan, mesin mobil hidup!

Masih dengan rasa keheranan, si pemuda berseru: "Saya tadinya khawatir, jangan-jangan mobil saya mogok untuk terakhir kalinya".

Orang tidak dikenal itupun menjawab dengan tegas, "Setiap mobil paling sedikit akan hidup sekali lagi bila diberi perhatian yang semestinya".

Tiba-tiba angin mereda, hujan berubah rintik-rintik.

Orang asing itu melanjutkankan perkataannya, " Prinsip yang sama juga berlaku bagi manusia. Selama masih ada sedikit percikan api, belum terlambat bagi seorang manusia untuk membuat awal yang baru ".

Si pemuda tergesa-gesa mengucapkan banyak terima kasih dan segera meneruskan sisa perjalanannya dan tiba di tempat yang dituju dengan selamat.


Memang, begitu penting sebuah percikan api untuk bisa menghidupkan mobil, demikian pula di dalam kehidupan manusia, percikan api bisa diartikan sebagai semangat, hasrat, niat atau tekad.

Bagi setiap manusia, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, selama masih mempunyai percikan api yang berbentuk TEKAD, maka tiada kata terlambat untuk memulai sebuah awal yang baru! Kebangkitan baru! Dan menciptakan kesuksesan baru!

Bagi saya sendiri yang lahir di keluarga miskin, yang hanya mengenyam pendidikan formal kelas 6 SD pun tidak lulus (SDTT sekolah dasar tidak tamat), sungguh tidak mudah untuk berjuang dan keluar sebagai pemenang!

Begitu pentingnya kekuatan TEKAD atau percikan api bagi saya! Tanpa TEKAD YANG KUAT untuk mengubah nasib dengan berjuang mati-matian, tidak mungkin nasib bisa saya ubah dan meraih kesuksesan seperti hari ini.

Dengan bersyukur atas keberhasilan yang telah saya raih, saya bertekad untuk tetap belajar, berjuang! Berjuang dan belajar lagi!! Dan membagi semangat pada setiap orang yang membutuhkan agar bisa memiliki kekayaan mental dan sama-sama meraih kesuksesan untuk kehidupan yang lebih bernilai.

Rabu, 27 November 2013

You Are Special...

Alkisah, disebuah kelas sekolah dasar, bu guru memulai pelajaran dengan topik bahasan, "Setiap insan adalah spesial". Kehadiran manusia di dunia ini begitu berarti dan penting. "Anak-anakku, kalian, setiap anak adalah penting dan spesial bagi ibu. Semua guru menyayangi dan mengajar kalian karena kalian adalah pribadi yang penting dan spesial. Hari ini ibu khusus membawa stiker bertuliskan warna merah "Aku adalah spesial".

Kalian maju satu persatu, ibu akan menempelkan stiker ini di dada sebelah kiri kalian". Dengan tertib anak-anak maju satu persatu untuk menerima stiker dan sebuah kecupan sayang dari bu guru mereka. Setelah selesai, bu guru melanjutkan "Ibu beri kalian masing-masing tambahan 4 stiker. Beri dan tempelkan 1 kepada orang yang kalian anggap spesial, sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih dan kemudian serahkan 3 stiker lainnya untuk diteruskan kepada orang yang dirasa spesial pula olehnya, begitu seterusnya. Mengerti kan.......".

Sepulang sekolah, seorang murid pria mendatangi sebuah kantor, diapun memberikan stikernya kepada seorang manajer di sana. "Pak, bapak adalah orang yang spesial buat saya. Karena nasehat-nasehatpak berikan, sekarang saya telah menjadi pelajar yang lebih baik dan bertanggung jawab. Ini ada 3 stiker yang sama, bapak bisa melakukan hal yang sama, memberikannya kepada siapapun yang menurut bapak pantas menerimanya".

Lewat beberapa hari, manajer tersebut menemui pimpinan perusahaannya yang emosional dan sulit untuk didekati. Tetapi mempunyai pengetahuan yang luas dan telah memberi banyak pelajaran hingga dia bisa menjadi seperti hari ini. Awalnya sang pemimpin terkesima, namun setelah mengetahui alasan pemberian stiker itu, dia pun menerimanya dengan haru. Sambil mengangsurkan si manajer berkata,"Ini ada 1 stiker yang tersisa. Bapak bisa melakukan yang sama kepada siapapun yang pantas menerima rasa sayang dari bapak". Sesampai di rumah, bergegas ditemui putra tunggalnya. "Anakku, selama ini ayah tidak banyak memberi perhatian kepadamu, meluangkan waktu untuk menemanimu. Maafkan ayahmu yang sering kali marah-marah karena hal-hal sepele yang telah kamu lakukan dan ayah anggap salah. Malam ini, ayah ingin memberi stiker ini dan memberitahu kepadamu bahwa bagi ayah, selain ibumu, kamu adalah yang terpenting dalam hidup ayah. Ayah sayang kepadamu". Setelah kaget sesaat, si anak balas memeluk ayahnya sambil menangis sesenggukan. "Ayah, sebenarnya aku telah berencana telah bunuh diri. Aku merasa hidupku tidak berarti bagi siapapun dan ayah tidak pernah menyayangiku. Terima kasih ayah". Mereka pun berpelukan dalam syukur dan haru serta berjanji untuk saling memperbaiki diri.

Kehidupan layaknya seperti pantulan sebuah cermin. Dia akan bereaksi yang sama seperti yang kita lakukan. Begitu pentingnya bisa menghargai dan menempatkan orang lain di tempat yang semestinya. memuji orang lain dengan tulus juga merupakan ilmu hidup yang sehat, bahkan sering kali pujian yang diberikan disaat yang tepat akan memotivasi orang yang dipuji, membuat mereka bertambah maju dan berkembang, dan hubungan diantara kitapun akan semakin harmonis, mari kita mulai dari diri kita sendiri, belajar memberi pujian, menghormati dan memperhatikan orang lain dengan tulus dengan demikian kehidupan kita pasti penuh gairah, damai dan mengembirakan.
 

Praduga

Dikisahkan, seorang janda miskin hidup berdua dengan putri kecilnya yang masih berusia  sembilan tahun. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar demi kelangsungan hidup mereka. Hidup penuh kekurangan membuat si kecil tidak pernah bermanja-manja kepada ibunya seperti anak-anak kecil lainnya.

Suatu hari di musim dingin, saat selesai membuat kue, si ibu tersadar melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia pun keluar rumah untuk membeli keranjang baru dan berpesan kepada putrinya agar menunggu saja di rumah. Pulang dari membeli keranjang, si ibu menemukan pintu rumah tidak terkunci dan putrinya tidak ada di rumah. Spontan amarahnya memuncak. Putri betul-betul tidak tahu diri! Cuaca dingin seperti ini, disuruh diam di rumah sebentar saja malahan pergi bermain dengan teman-temannya!

Setelah selesai menyusun kue di keranjang, si ibu segera pergi untuk menjajakan kuenya. Dinginnya salju yang memenuhi jalanan tidak menyurutkan tekadnya demi kehidupan mereka. Dan sebagai hukuman untuk si putri, pintu rumah di kuncinya dari luar. "Kali ini Putri harus diberi pelajaran karena telah melanggar pesan," geram si ibu dalam hati.

Sepulang dari menjajakan kue, mata si ibu mendadak nanar saat menemukan gadis kecilnya tergeletak di depan pintu. Dengan berteriak histeris segera dipeluknya tubuh putrinya yang telah kaku karena kedinginan. Dengan susah payah dipindahkannyalah tubuh putri ke dalam rumah.

"Putri...Putri...Putri..., bangun, Nak! Ini ibu, Nak! Bangun, Nak! Ibu tidak marah kok. Bangun Putri anakku!" Serunya sambil menangis merung-raung dan berusaha sekuat tenaga membangunkan dengan menguncang-guncangkan tubuh si putri agar terbangun. Tetapi putri tidak bereaksi sama sekali.

Tiba-tiba terjatuh dari genggaman tangan si putri sebuah bungkusan kecil. Saat dibuka, ternyata di dalamnya berisi sebungkus kecil biskuit dan secarik kertas usang. Dengan tergesa-gesa dan tangan yang gemetar hebat, si ibu segera mengenali tulisan putrinya yang masih berantakan tetapi terbaca jelas.

 "Ibuku tersayang, Ibu pasti lupa hari istimewa Ibu ya. Hi... hi... hi..., ini Putri belikan biskuit kesukaan ibu. Maaf Bu, uang putri tidak cukup untuk membeli yang besar dan maaf lagi Putri telah melanggar pesan Ibu karena meninggalkan rumah untuk membeli biskuit ini. Selamat ulang tahun, Bu. Putri selalu sayang, Ibu!" Dan meledaklah tangis sang ibu.  

Prasangka sering mendatangkan petaka adalah kalimat yang cocok dengan kisah tadi dan penyesalan biasanya datang menyusul di belakang itu. Begitu banyak masalah dan problem di dunia ini muncul karena prasangka negatif maka butuh kedewasaan dalam mengendalikan pikiran agar kebiasaan berprasangka tidak kita layani begitu saja dan sedapat mungkin kita hilangkan. Kita ganti dengan berfikir positif sekaligus hati-hati dengan demikian memungkinkan hubungan kita dengan orang lain akan menjadi harmonis dan membahagiakan.

Cinta itu Rela Berkorban

Bisa saya melihat bayi saya?" Pinta ibu yang baru melahirkan anaknya, saat bayi diberikan kepadanya, sesuatu yang mengagetkan terjadi, bayi dalam gendongan itu dilahirkan tanpa kedua belah daun telinga, meski begitu si ibu tetap menimang sayang bayinya, waktu membuktikan, meski terlihat aneh dan buruk pendengaran anak itu bekerja dengan sempurna dan dengan kasih sayang dan dorongan semangat orang tuanya, ia menjadi pemuda tampan yang cerdas, ia juga pandai bergaul sehingga disukai teman-temannya, ia juga mengembangkan bakat di bidang musik sehingga tumbuh menjadi remaja pria yang disegani.

Suatu hari ayah lelaki itu bertemu dengan seorang dokter "Saya bisa memindahkan sepasang daun telinga untuk putra bapak, tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan daun telinganya, maka orang tua lelaki itu mulai mencari, siapa yang mau mendonorkan daun telinganya kepada anak mereka, beberapa bulan sudah berlalu, tibalah saatnya mereka memanggil anak lelaki itu,"Nak, seseorang yang tidak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan daun telingannya kepadamu, kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk operasi, namun semua ini sangatlah rahasia" kata si ayah.

Operasi berjalan dengan sukses, wajahnya yang tampan, ditambah kini sudah punya daun telinga membuat ia terlihat menawan, ditambah bakat musiknya, dia makin disegani dan mampu meraih menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Kecerdasannya kemudian membuat ia diterima bekerja sebagai diplomat, ia sangat ingin berterimakasih kepada orang yang mendonorkan daun telinga "Ya aku harus mengetahui, siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua kepadaku, ia telah berbuat sesuatu yang besar, namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya"

Ayah yakin kau tidak bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan daun telinga itu, setelah terdiam sesaat, ayahnya melanjutkan "sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini. Tahun berganti rahasia tetap tersimpan rapi, hingga suatu hari sesuatu yang menyedihkan bagi keluarga itu terjadi.

Pada hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenasah ibunya yang baru saja meninggal, dengan perlahan ayah membelai rambut ibu yang terbujur kaku lalu menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak terjadi, ternyata si ibu tidak memiliki daun telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya dan tak seorangpun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"

Melihat kenyataan bahwa daun telinga ibunya yang didonorkan, meledaklah tangis si anak, ia merasakan bahwa cinta sejati ibunyalah yang membuat ia bisa seperti saat ini.



Mari tebarkan cinta dengan ketulusan dan keiklasan, kita akan menemukan kebahagiaan sejati.

Cinta sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui namun pada apa yang telah dikerjakan tapi tidak diketahui. Kisah pengorbanan ibu tadi adalah wujud sebuah cinta sejati yang tidak bisa dinilai dan digantikan dengan apapun. Inilah makna sesungguhnya dari sebuah cinta yang murni, cinta seorang ibu kepada anaknya tanpa pamrih.

Hanya Aku dan Tuhan

Alkisah, ada seorang pelukis yang sangat terkenal karena lukisannya yang indah, halus, teliti, detail, dan seindah objek apapun yang dilukisnya. Raja sangat menyukai dan mengagumi karya-karya si pelukis. Sebagai tanda penghormatan, penghargaan, dan keinginan untuk mengabadikan karya seni seorang seniman besar yang pernah ada di negeri itu, raja membuatkan sebuah monumen besar yang nantinya di atas monumen itu terpampang lukisan yang akan dikerjakan oleh si pelukis.

Raja berharap, seluruh rakyat negeri itu akan mengenang dan menikmati karya seni yang tinggi hingga bertahun-tahun ke depan, sampai ke generasi selanjutnya. "Baiklah rajaku, hamba akan memenuhi harapan baginda" janji si pelukis. Setelah monumen berdiri dengan megah di tengah kota, si pelukis mulai membuat sketsa kasar, menghaluskan, dan menambahkan berbagai ornamen cantik di sana-sini.

Disusul dengan membuat campuran berbagai macam cat warna, mengoleskannya dengan seksama. Masyarakat pun setiap hari bergantian berkerumun dan dibuat terkagum-kagum atas lukisan besar yang sedang dibuat itu. Dan bila lukisan telah utuh dikerjakan, setiap hari si pelukis datang ke sana, ada saja detail yang dibenahinya, pokoknya lukisan yang indah itu serasa belum memuaskan si pelukis.

Temannya yang ikut membantu pekerjaan besar itu menyapa dan bertanya kepadanya, "Sobat, begitu lama kamu mengerjakan proyek ini. Lukisanmu ini ada di atas bangunan yang begitu tinggi, orang-orang yang menikmati lukisanmu memuji keindahannya dan tidak melihat sedikitpun kekurangannya. Udahlah, anggap saja sudah selesai tuntas. Dari tempat yang begitu tinggi, Jika ada kekurangan sedikit-sedikit, memangnya siapa yang akan tahu?" "Yang tahu kekurangannya adalah aku dan Tuhanku" jawab si pelukis serius.

Sebenarnya melukis sama seperti menjalani kehidupan ini. Setiap perbuatan atau kesalahan yang kita lakukan, belum tentu orang lain tahu, tetapi setidaknya kita sendiri yang tahu dan pastinya Tuhan juga tahu. Jika ingin hasil kerja yang terbaik, kerjakan sebaik-baiknya, semaksimal mungkin. Bukan atas dasar penilaian orang lain. Jika ingin berbuat baik, lakukan dengan ketulusan yang ada di dalam diri, karena hanya kita tahu dan Tuhan pun pasti tahu".



Juga sama dengan menjalani kehidupan ini. Setiap perbuatan kita, berbuat salah maupun disalahi oleh orang lain. Mungkin tidak ada orang yang tahu, tetapi sekurang-kurangnya kita dan Tuhan lah yang tau, tempat kita mempertanggungjawabkan setiap perbuatan kita hingga akhir kehidupan ini.

Profesionalisme adalah sikap kerja yang mandiri, berdedikasi, menginginkan hasil yang maksimal dengan bekerja sebaik-baiknya. Bukan atas dasar penilaian orang lain semata, tetapi karena memang standar kualitas kita yang unggul.

Jalan Berliku dan Terjal menuju Sukses

Di pagi hari yang buta, terlihat seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di punggungnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke
puncak gunung yang terkenal. Konon kabarnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di surga.

Ketika sampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua. Setelah menyapa pemilik rumah, si pemuda mengutarakan maksudnya "Kek, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong Kek, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk mencapai ke puncak gunung!"

Si kakek dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda, "Ada tiga jalan untuk menuju puncak gunung ini. Kamu bisa memilih sebelah kiri, tengah, atau sebelah kanan."

"Kalau saya memilih sebelah kiri?" tanya si pemuda.

"Jalur sebelah kiri ada banyak bebatuan," jawab sang kakek pendek.

Setelah berpamitan dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah sang kakek.

"Kek, saya tidak sanggup melewati terjalnya batu-batuan. Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati?"

Si kakek dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya sambil menjawab, "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"
"Hmmm, jika saya memilih jalan sebelah kanan...?"

"Jalur sebelah kanan banyak semak berduri!"

Setelah beristirahat sejenak, si pemuda kembali berangkat untuk mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si kakek. Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Kek, saya sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah kutempuh, tapi rasanya saya tetap berputar-putar di tempat yang sama. Saya tidak berhasil mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali kemari tanpa hasil. Tolong deh, Kek ... tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar saya sukses mendaki hingga ke puncak gunung."

Sang kakek dengan serius mendengarkan keluhan si pemuda. Kemudian sambil menatap tajam, dia berkata tegas "Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan buntu pun harus kamu hadapi. Selama keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua tantangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu. Jangan lupa, nikmati juga pemandangan yang luar biasa! Apakah kamu mengerti?"

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan kakek. Lalu, sambil tersenyum gembira, dia menjawab, "Saya mengerti Kek, saya mengerti! Terima kasih! Saya siap menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan tantangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini."

Dengan senyum puas , sang kakek berkata, "Anak muda, aku percaya kamu pasti bisa mencapai puncak gunung itu!"



Untuk mencapai kesuksesan seperti yang kita inginkan, sama seperti analogi mendaki gunung tadi. Tidak ada jalan rata dan pintas! Sewaktu-waktu, rintangan, kesulitan, dan kegagalan selalu datang menghadang. Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, tetap menjaga komitmen dan berjuang, kita akan mencapai puncak kesuksesan.

Kenangan dalam Sebuah lagu


Lagu ini memiliki kenangan yang membekas, karena pertama kali mendengar lagu ini di Acara Pekan Pemuda Gereja Kalimantan Evangelis Tahun 1993; Wow 20 tahun silam...akhirnya ku menemukan liriknya....yeaaaaa

Nyanyikanlah Kidung Pujian

Nyanyikanlah kidung pujian
Bagi Sang Raja
Nyanyikanlah kidung yang indah
Bagi namaNya

Hosana pujilah Dia
Di tempat yang tinggi
Yesus Kristus Juruselamat
Allah Maha Kuasa

Mainkanlah gitar melodi
Tiuplah sangkakala
Petiklah kecapi yang merdu
Bunyikan rebana

Bergetar seluruh dunia
Memuji namaNya
Yesus Kristus Juruselamat manusia

Tuhan
Dengarlah suara anakMu
Memanggil dan memujiMu
O Bapa
Bapa di surga

Tuhan
Dengar rintihan anakMu
Menyembah dan memujiMu
O Bapa
Bapa di surga

Glori glori gloria
Haleluyah
Glori glori gloria
Haleluyah

Bejo yang Beruntung

Bertahun-tahun silam, barangkali kita tidak akan pernah membayangkan betapa mudahnya orang berkomunikasi. Telepon mahal. Telegram merepotkan. Surat-menyurat pun butuh waktu lama. Sekarang? Semua seolah tinggal klik. Duduk manis di depan komputer, terhubung ke internet. Kita pun sudah siap melanglang buana, meski hanya melalui dunia maya. Sungguh mengesankan. Dulu, barang dan benda teknologi yang sepertinya hanya khayalan, kini dengan mudah kita dapatkan.

Jika ditilik jauh ke belakang, kita akan menemukan, betapa banyak orang-orang berjasa besar yang memungkinkan semuanya terjadi. Dan, satu yang harus kita garis bawahi. Mereka semua menciptakan berbagai inovasi tidak dalam satu dua hari. Berbulan, bahkan bertahun-tahun. Tak jarang, hinaan dan celaan sering kali mereka terima. Ada yang meragukan, ada yang menyangsikan, ada yang bahkan menganggap mereka gila hingga harus diasingkan. Tapi, besarnya impian masing-masing, mereka bayar dengan perjuangan yang mati-matian.

Kita tentu masih ingat kisah klasik Thomas Alva Edison yang menemukan bohlam lampu setelah ribuan kali gagal. Jika hidup pada era tersebut, barang kali kita juga akan mengira betapa gilanya Edison. Sudah gagal lebih dari 9 ribu kali untuk mengikuti "keyakinannya" bahwa ia bisa menciptakan inovasi dunia, namun tetap saja mencoba dan mencoba lagi.

Bahkan, jika ia hidup dan melakukannya pada zaman sekarang, barangkali orang akan segera mengindentifikasikan Edison sebagai orang stres atau kurang kerjaan. Tapi, apa yang terjadi dengan Edison? Ia "membayar" semua keyakinannya itu dengan terus dan terus mencoba lagi. Hasilnya-konon-di percobaan ke 10 ribu, ia berhasil mewujudkan impiannya. Hingga, ia pun terkenal dengan ucapannya, bahwa dirinya tak pernah gagal, hanya saja ia menemukan 9999 cara yang belum berhasil. Dan, setelah melewati berbagai bentuk perjuangan itu, dia pun menjadi inovator dunia yang sangat sukses dan kaya.

Pertanyaannya kemudian, apakah di penemuan ke-10 ribu itu sebenarnya Edison "beruntung" mendapat formula yang pas sehingga berhasil, atau ia memang telah pada "puncak" di mana ia pasti akan mendapat formula itu setelah berkali-kali gagal namun terus maju lagi? Sebagian besar orang pasti akan berpikir dan setuju, bahwa faktor yang kedua itulah yang membuatnya berhasil. Ia bukan beruntung, tapi memang karena telah bekerja keras sehingga berhasil. Namun, jika pertanyaannya kita lontarkan tanpa tahu bagaimana ia harus mencoba dan sampai gagal 9 ribu kali lebih, barangkali orang akan menjawab: ia beruntung!

Sama halnya yang sering kita jumpai pada ungkapan banyak orang tentang keberhasilan orang lain saat ini. "Ah.. dia beruntung banget...." Atau "Ah, dia bisa begitu karena beruntung..." Saya jadi teringat sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa: "Wong bodho kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bejo" atau dalam arti harfiahnya "Orang bodoh kalah dengan orang pandai, tapi orang pandai kalah dengan orang yang beruntung." Jika dipahami dalam arti yang sempit, seolah-olah di sini orang yang bejo atau beruntung adalah "sekadar" mendapat berkah, sehingga ia bisa memperoleh apa yang didambakan dengan mudah. Tapi, apakah memang itu yang terjadi?

Bagi saya sendiri, bejo atau beruntung itu adalah buah perjuangan. Tak ada yang datang hanya secara kebetulan, tanpa ada yang mendasari. Karena itu, untuk jadi beruntung, sebenarnya pasti ada rentetan peristiwa di belakangnya. Atau, agar kita beruntung, ada banyak "cara" dan "jalan" yang pasti telah kita lakukan sehingga kita sampai pada apa yang disebut orang sebagai beruntung.

Ada dua buah buku yang menyebut hal yang senada. Yang paling terkenal adalah karya Profesor Richard Wiseman yang menulis buku The Luck Factor. Hal senada juga ditulis oleh Max Gunther. Keduanya memang menyebut bahwa keberuntungan adalah hal atau kejadian menyenangkan yang mampu mengubah hidup jadi lebih baik. Dan, melalui berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata antara orang yang beruntung dan tidak, ternyata memiliki pola hidup dan sikap yang berbeda. Disebutkan bahwa orang yang beruntung biasanya lebih ramah dengan orang lain, lebih rajin, lebih percaya diri, selalu memiliki pikiran positif, sabar, tak takut risiko, hingga suka bekerja keras. Melalui "kombinasi" sifat dan sikap itulah, orang jadi cenderung gampang bejo atau beruntung.

Maka, jika dikembalikan pada kisah Thomas Alva Edison, sebenarnya bisa dikatakan bahwa ia memang orang yang bejo. Namun, ia mendapatkan semuanya setelah melalui sifat dan sikap dengan terus mau bekerja keras untuk mewujudkan impiannya. Karena itu, jika ingin meningkatkan keberuntungan kita-lebih cepat sukses, lebih cepat kaya, lebih cepat menggapai impian-tingkatkan sifat dan sikap kaya mental dalam keseharian. Mari, jemput bersama keberuntungan kita!!

Kuntum yang Layu Sebelum Mekar

Alkisah, ada seorang anak yang sangat menyenangi bunga. Ia ingin rumahnya ditumbuhi oleh bunga-bunga indah. Karena itu, saat akan berulang tahun, ia pun meminta hadiah kepada orangtuanya.

“Papa, mama. Aku ingin sekali punya tanaman bunga yang indah seperti di taman kota, seperti waktu Papa ajak aku jalan-jalan tempo hari,” pinta si bocah.

Keesokan harinya, tepat di hari ulang tahunnya, permintaan itu dikabulkan. Sebuah pot bunga berisi tumbuhan segar diberikan sebagai hadiah.

“Terima kasih Pa, Ma.. Tapi, ini kok nggak ada bunganya?” tanya si bocah polos.
“Bunga yang kamu inginkan itu memang hanya tumbuh saat musimnya datang,” jawab kedua orangtua itu sabar. “Yang penting, rawat tanaman ini baik-baik, sirami, dan pelihara sungguh-sungguh.”

Si bocah pun mematuhi kata-kata orangtuanya. Setiap hari, disiraminya tanaman bunga yang diletakkan di pinggir jendela kamarnya itu. Hari demi hari berlalu. Tak terasa, sudah dua minggu lebih tanaman itu ada di kamar si bocah. Tanaman itu terlihat makin segar karena rajin disiram oleh si bocah. Tapi, yang ditunggu-tunggu si bocah tak kunjung tiba. Tanaman itu baru memunculkan satu dua kuncup calon bunga. Maka, si bocah pun bertanya kepada kedua orangtuanya.

“Papa Mama, mengapa aku sudah rajin menyiram dan merawat, yang muncul hanya kuncup ini? Mana bunganya?”
“Nak, sabar. Kuncup itu akan jadi bunga indah yang kamu inginkan. Terus rawat. Maka kuncup itu akan mekar pada waktunya…” nasihat kedua orangtuanya sabar.

Si bocah mengangguk. Namun, dalam hatinya ia sedikit kecewa. Sudah cukup lama ia menanam dan merawat, tapi yang ia dapat hanya kuncup bunga.

Tak terasa, seminggu kemudian, kuncup itu pun terlihat hendak mekar. Warna kuning merekah sudah terlihat dari dalam kuncup itu. Si bocah kegirangan. Dikiranya, bunga itu segera akan mekar. Maka, ia pun segera meraih kuncup bunga yang hendak merekah itu. Ia merasa, bunga itu harus dibantu untuk bisa keluar dan menghiasi kamarnya.

Tanpa ia sadar, tindakannya itu justru merontokkan bunga yang hendak mekar. Bunga yang memang sedang menunggu saat tepat untuk merekah itu justru layu saat dibantu tangan bocah untuk mekar. Bocah itu pun menangis. Ia menyesali perbuatannya yang hendak membantu mekarnya bunga, malah mematikan bunga itu.



Kisah tadi adalah sebuah pelajaran kehidupan, bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Kita bisa saja mempercepat proses untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi, jika memang belum saatnya untuk “matang”, hampir bisa dipastikan, apa yang didapat, tak memiliki fondasi yang kuat. Akibatnya, sukses yang diperoleh pun akan mudah tumbang, mudah goyah, dan mudah pula ditiup badai kehidupan.

Karena itu, sadari sepenuhnya, bahwa semua butuh diperjuangkan dengan proses yang tak bisa instan. Justru, dengan melewati berbagai halangan, tantangan, dan kesulitan, akan mendewasakan.

Mari, jangan pernah menyerah saat proses hidup terasa menyulitkan. Sebab, di sanalah kita akan digembleng menjadi insan dengan “akar” kuat yang saatnya matang kelak, akan jadi pribadi hebat penuh manfaat.

Lilin Kecil

Suatu hari di sebuah kelas, bu guru memperhatikan salah seorang muridnya yang tampak gelisah dan tidak konsentrasi mengikuti pelajaran yang diberikan. Saat bel pulang berdering, bu guru memanggil si anak untuk diajak berbincang, “Nak, ibu perhatikan, kamu beberapa hari ini tidak mengikuti pelajaran dengan baik. Ada apa, Nak? Apakah ada masalah yang sedang mengganggu pikiran kamu?” ucap bu guru sambil membelai kepala kecil di hadapannya dengan sayang.

Si anak terdiam menengadahkan wajah, tampak matanya berkaca-kaca. “Maafkan saya, Bu. Saya sudah mengabaikan pelajaran sekolah. Beberapa hari ini saya sedang bingung, tetapi setiap kali saya hendak berbicara dengan ibu guru, saya lihat ibu begitu sibuk sehingga saya tidak berani mengganggu.”

“Baiklah, sekarang ibu tidak sibuk. Apa masalahmu, siapa tahu ibu bisa membantu..” lanjut bu guru.

“Tapi Bu, saya sungguh tidak ingin menyusahkan ibu. Di kelas ini saja ada 40 murid yang harus diajar oleh ibu, belum lagi kelas yang lain. Saya tidak ingin merepotkan ibu dengan masalah saya,” si anak membandel menolak jasa baik ibu guru.

“Baiklah. Kalau begitu, maukah kamu membantu ibu?” Segera si anak mengganggukkan kepalanya. “Ambil dan bawa kemari beberapa lilin di lemari ibu, nyalakan dengan korek api yang di situ. Pasang lilin yang lain dan nyalakan dengan api lilin yang pertama.” Walaupun tidak mengerti apa maksud semua ini, si anak dengan patuh mengerjakannya.

“Lihat baik-baik, Nak. Nyala api lilin pertama tetap terang 'kan? Walaupun dia telah memberikannya kepada lilin-lilin yang lain.”

“Apa maksud Ibu? Apa hubungannya masalah saya dengan lilin? Saya sungguh tidak mengerti, Bu..” jawab si anak kebingungan.

“Lilin pertama tidak kehilangan terang dan panasnya walaupun telah memberi kepada lilin yang lain. Nah, sama seperti lillin. Bu guru juga tidak akan kekurangan apapun dengan memberikan ilmu, waktu, dan pengetahuan yang ibu punyai untuk kalian semua. Dengan memberi, seorang guru baru berarti bagi orang lain yaitu murid-muridnya, orang tua murid yang menitipkan pendidikan anaknya ke sekolah ini, dan guru juga menjadi tumpuan harapan setiap bangsa untuk menyiapkan kalian, calon-calon pemimpin di masa depan. Dengan memberi bantuan, bu guru kan tidak berkurang sedikit pun. Bagaimana? Sekarang kamu mengerti?” Dengan tersenyum, si anak pun mulai menceritakan masalahnya dan akhirnya pulang ke rumah dengan perasaan puas dan lega.



Kenyataan sering kali bertolak belakang dengan keinginan kita. Ada orang yang ingin membantu, tetapi yang dibantu tidak mau. Ada pula orang yang butuh bantuan ke orang lain, tetapi orang lain tidak mau membantunya. Manusia sebagai makhluk sosial, tidak mungkin hidup sendiri. Manusia selalu memiliki sifat saling ketergantungan satu dengan yang lain.

Maka saat kita butuh bantuan biar orang lain membantu kita, tetapi saat kita bisa memberi bantuan, ya kita ringankan beban orang lain; seperti sifat lilin tadi yang memberikan nyala apinya kepada lilin-lilin yang lain, selalu menjadi penerang dalam kegelapan dan menghangatkan sekelilingnya tanpa pernah kehilangan jati dirinya.   

Salam sukses luar biasa!

Piagam Seorang Ibu

Suatu hari, di sebuah rumah terlihat kesibukan penghuninya. Mereka bersama-sama mengangkat, menggeser, dan memindah-mindahkan berbagai macam perabot rumah dengan diselingi canda dan sapa akrab di antara mereka. Rupanya seiring dengan bertambahnya usia, anak-anak ingin kamar tidur terpisah, sehingga ada keleluasaan untuk mengatur barang-barang mereka sendiri.

Bersama mereka merencanakan pembagian ruang, perabotan, dan tugas, dan sengaja meluangkan waktu libur untuk merenovasi sesuai rencana yang telah disepakati. Di keluarga itu, ayah dan anak-anak memiliki kesamaan minat dan aktif di berbagai kegiatan dan organisasi, seperti olah raga, kesenian dan kegiatan sosial lainnya. Itu bisa dilihat dari banyaknya piagam penghargaan dan piala yang berhasil didapat dan saat ini tegeletak di berbagai sudut, terbengkalai dan belum tersentuh.

Setelah memikirkan bersama, mereka memastikan piagam dan piala akan ditempatkan di ruang tamu dengan menambahkan rak pajang. Sambil bernostalgia mengingat saat kemenangan, si sulung berkomentar, “Bu, rasanya enggak komplit lho, di antara piala dan piagam ini tidak ada nama ibu. Waktu ibu muda sampai sekarang, apa ibu enggak pernah ikut pertandingan?”

“Wah kalau ibu kalian ikut bertanding dan menjadi pemenang juga, kita semakin repot dong mencari tempat untuk menyimpan piala dan piagam ini, hahaha,” timpal sang ayah.

“Eh, Ibu juga punya piagam, lho… Bukan hanya satu, tapi dua! Penasaran? Kalau ingin tahu piagam apa yang ibu punya, sediakan saja dua paku kosong, besok akan ibu gantung piagamnya di sana,” sambil tersenyum misterius, ibu melanjutkan kerjanya.

Ayah dan anak saling bertanya lewat tatapan mata. Bersamaan mengangkat bahu tanda masing-masing tidak mempunyai jawaban atas pernyataan piagam rahasia milik ibu. Dengan penasaran, keesokan harinya mereka segera melihat di ruang tamu. Ah… pakunya masih kosong! Saat selesai makan malam, ibu pun mengumumkan layaknya seorang pembawa acara.

“Hadirin, sesuai janji kemarin, piagam yang ibu dapatkan sudah tergantung di tempatnya, silakan ke ruang tamu untuk melihatnya!” Mereka berhamburan ke ruang tamu ingin segera tahu, kejuaraan apa yang telah dimenangkan oleh ibu atau piagam penghargaan seperti apa yang telah dirahasiakan ibu selama ini? Pasti sangat luar biasa sampai orang serumah tidak pernah ada yang tahu!

Setiba di sana,  terpampang di tembok telah dipigura, akte kelahiran masing-masing anak. Mereka terkesima dan begitu tersadar, si sulung segera memeluk ibunya, “Iya Bu, ini adalah piagam paling berharga di seluruh dunia. Pertanda Ibu telah memenangkan pertandingan terbesar dan terhebat karena diperjuangkan dengan taruhan nyawa. Piala dan piagam yang kami dapat, tidak sepadan dengan piagam yang ibu punya. Terima kasih telah mengingatkan dan maafkan kesombongan kami, Bu,” dengan terharu mereka berpelukan.

       
Seorang ibu, walaupun tanpa piagam dan penghargaan apapun, tetap adalah pahlawan bagi anak-anaknya. Entah semewah atau sesederhana apapun sebuah rumah, sosok ibu adalah tempat terindah untuk anak-anaknya pulang.

Semoga, saat ini masih ada kesempatan buat kita untuk berbakti kepada ibu dan senantiasa mensyukuri bahwa melalui dialah kita ada.

Tuntas dan Maksimal.YES!!!

Alkisah, ada seorang raja hendak berburu. Ia ditemani oleh panglima kerajaan dan punggawa terpercayanya, serta beberapa prajurit dari istana. Dalam perburuan itu, Raja harus melewati berbagai daerah dan hutan yang luas.

Dalam peristirahatan sejenak sebelum berburu masuk ke hutan tersebut, Sang Raja sempat mendengar sebuah percakapan dari prajuritnya. Mereka beradu pendapat, mengapa dua orang terpercaya Raja bisa mendapat jabatan yang berbeda. Satunya sebagai panglima, satu lagi menjadi punggawa. Padahal, keduanya punya kedekatan dan jasa yang hampir sama.

Mendengar itu, keesokan harinya, Sang Raja memanggil semua orang yang mendampingi perburuannya. Ia lantas memanggil salah satu prajurit. “Tolong lihat keadaan di dalam hutan sebelum kita memulai berburu. Laksanakan!”

Setelah beberapa saat menunggu, prajurit itu kembali. “Paduka, keadaan hutan cukup aman kita masuki.”

Mendengar jawaban itu, Sang Raja kali ini menitahkan punggawanya untuk melakukan hal yang sama. Punggawa membutuhkan waktu lebih lama untuk mengamati. “Paduka, keadaan hutan cukup aman seperti yang tadi dikatakan prajurit. Cuaca cerah, burung-burung berkicau nyaring tanda di sana memang tempat yang tepat untuk mendapatkan binatang buruan. Selain itu, saya juga menemukan satu tempat strategis untuk berburu.”

Sang Raja tersenyum puas mendengar jawaban tersebut. Namun, Panglima yang sedari tadi memperhatikan saja, memohon izin pada Baginda Raja untuk juga diberi kesempatan melihat ke dalam hutan sejenak. Sang Raja pun mengabulkan.

Beberapa lama kemudian, Panglima itu pun kembali. “Paduka, apa yang disampaikan prajurit dan sahabat punggawa tadi sangat benar. Namun, karena Baginda lebih suka hewan kijang untuk diburu, saya sudah menyiapkan tempat yang paling strategis. Ada satu sungai kecil, di mana kita bisa lebih mudah mendapatan kijang. Untuk menuju ke sana ada tiga cara. Saya sudah tahu jalur paling nyaman untuk kita semua. Di situ juga banyak tempat istirahat yang aman, sehingga jika cuaca tiba-tiba berubah, kita akan lebih mudah mencari perlindungan.”

Mengetahui penuturan panglimanya, Sang Raja berkata kepada semua orang yang bersamanya. “Semalam aku mendengar ada orang berdebat, mengapa satu orang dengan yang lainnya mendapat kedudukan lebih tinggi di bawahku. Hari ini, kalian menyaksikan sendiri jawabannya. Kalian semua adalah orang-orang terbaik. Tapi, baik saja belum cukup. Kecekatan, kepekaan, keahlian, kepedulian, kecermatan, ketelitian, dan ketuntasan terhadap pekerjaan bisa menjadi pembeda. Kalian semua pasti bisa mendapat jabatan lebih tinggi. Namun, hanya yang terbaiklah yang akan mendapat tempat terbaik pula. Panglima mencari informasi paling banyak, paling cermat, paling pas, dan paling sesuai dengan kebiasaan yang aku lakukan, maka ia aku pilih menjadi panglima. Kalian semua mengerti?”

Mendengar penuturan Sang Raja, semua orang mengangguk-angguk tanda mengerti dan setuju terhadap apa yang menjadi kebijakan raja. Mereka berjanji pada dirinya masing-masing, agar ke depan bisa menjadi orang yang jauh lebih baik, dengan mampu menuntaskan semua pekerjaan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.
 Orang sukses pasti punya kebiasaan menuntaskan pekerjaan lebih maksimal dibandingkan orang yang biasa-biasa saja.

Orang yang berpikiran, berjiwa, bertindak, dan berkarakter sebagai orang sukses biasanya akan selalu bertanggung jawab tanpa memandang siapa yang memberi tugas, akan bekerja sepenuh hati tanpa diawasi, akan memaksimalkan pekerjaan tanpa disuruh. Dengan begitu, setiap peran yang dilakoni, setiap bidang yang dijalani, setiap tugas yang dilaksanakan, dapat menjadi karya yang tuntas. Ibarat seorang pelukis, ia akan menggambar karya selayaknya seorang maestro.

Mari, kita tuntaskan pekerjaan—apa pun bidang yang kita jalani—dengan kesungguhan, ketelitian, kecekatan, keterampilan, sehingga setiap karya akan membuat kita menjadi pemenang sejati kehidupan.



River of Life

Bila kita memperhatikan sebuah sungai yang aliran airnya tidak lancar, kita akan mendapati beberapa penyebabnya, seperti:

- Sampah
Kadang kita tidak bisa mengalirkan hal-hal yang baik karena hidup kita ditutupi oleh sampah. “Sampah” dalam diri kita contohnya pikiran negatif, kebencian, iri hati, kemarahan, dsb.

Untuk membersihkannya, perlu belajar "menguasai hati". Kita (misalnya) tidak bisa melarang orang lain membicarakan hal-hal buruk tentang kita, namun kita bisa menjaga hati/pikiran untuk tetap tenang & damai.

- Batu
Batu dalam "sungai kehidupan" adalah kekerasan hati. Tak jarang perbuatan orang lain membuat kita sakit hati, dendam, sampai merasakan kepahitan.

Untuk menghadapi batu, kita punya 2 pilihan: memaafkan atau tetap membenci.

- Lumpur
Lumpur, mengacu pada masa lalu. Mungkin kita memiliki masa lalu yang buruk, seperti masalah yang belum diselesaikan. Penting bagi kita untuk membereskannya.

Sungai tidak bisa mengalirkan kehidupan kalau ada sampah, batu, dan lumpur. Demikian juga kita.. Mari, bersihkan aliran sungai kehidupan yang ada di dalam diri kita...

Menikmati Hidup....

Seorang dosen memberikan kuliah tentang manajemen stres. Ia mengangkat sebuah gelas berisikan air dan bertanya pada mahasiswanya, ”Menurut kalian, berapa berat air dalam gelas ini?”

Setiap mahasiswa menyebutkan angka yang berbeda-beda.

Lalu sang dosen berkata lagi, ”Berapa berat yang pasti tidaklah penting. Karena hal itu bergantung pada berapa lama kita memegangnya. Jika saya memegangnya selama semenit, tidak masalah. Kalau saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan kram. Dan jika saya memegangnya seharian, mungkin kita harus dibawa ke rumah sakit. Padahal beratnya sama saja, tapi semakin lama kita memegangnya, gelas air itu akan terasa semakin berat.

”Begitu pula dalam hidup ini. Jika kita menanggung beban-beban hidup (bisa berupa kekecewaan, kegagalan, kekalahan, kesedihan, dukacita, dll) sepanjang waktu, cepat atau lambat, kita taidk kan mampu bertahan. Karena beban itu lama-kelamaan akan makin terasa berat. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menaruh gelasnya, beristirahat sebentar sebelum kembali memegangnya.”

Sama halnya dengan gelas air tersebut, kita perlu meletakkan beban-beban hidup kita pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita bisa merasa segar lagi dan mampu mengangkat beban itu kembali.

Jadi, sebelum kita pulang ke rumah dari pekerjaan atau segala aktivitas kita selama seharian penuh, letakkan sejenak beban kerja dan hidup kita. Jangan membawa beban itu ke dalam rumah. Tinggalkan itu di luar rumah. Esok pagi, saat tubuh kita sudah terasa segar kembali, kita bisa mengambil beban itu lagi.

Cobalah untuk beristirahat dan bersantai. Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup.

Alasan Yang Kuat

Pasar malam dibuka di sebuah kota. Seluruh penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada berbagai macam permainan, stan makanan, dan sirkus. Tetapi kali ini yang paling istimewa adalah atraksi Manusia Kuat. Setiap malam, ratusan orang menonton pertunjukannya. Ia bisa melengkungkan baja hanya dengan tangan telanjang, ia bisa menghancurkan beberapa batu bata tebal dengan tinjunya, ia mengalahkan banyak pria di kota itu dalam lomba panco. Tapi untuk menutup pertunjukannya ia hanya memeras sebuah jeruk dengan genggamannya. Ia memeras terus hingga tetes terakhir air jeruk itu terperas.

Kemudian ia menantang para penonton. "Barangsiapa yang bisa memeras hingga keluar satu tetes saja air jeruk dari buah jeruk ini, akan kuberikan dia uang satu juta!" Kemudian naiklah seorang laki-laki ke atas panggung. Tangannya terlihat begitu besar dan kuat. Ia memeras dan memeras... tapi tak setetes pun air jeruk keluar. Sepertinya seluruh isi jeruk itu sepertinya sudah terperas habis. Ia gagal. Beberapa pria dari penjuru kota pun penasaran ikut mencoba, tapi tak ada yang berhasil.

Manusia kuat itu tersenyum-senyum. Kemudian ia berkata, "Kesempatan terakhir. Siapa yang mau mencoba..?"

Seorang wanita kurus setengah baya mengacungkan tangan dan meminta agar ia boleh mencoba.

"Tentu saja boleh, Nyonya. Mari naik ke panggung!" Manusia Kuat lantas membimbing wanita itu naik ke atas pentas.

Beberapa orang tertawa terbahak-bahak bahkan mengolok-ngolok wanita itu. Wanita itu lalu mengambil jeruk dan menggenggamnya. Semakin banyak penonton yang menertawakannya.

Lalu wanita itu mencoba memeras dengan penuh konsentrasi. Ia memeras ... memeras ... dan ... setetes air jeruk muncul terperas dan jatuh membasahi lantai panggung. Para penonton diam, terperangah. Lalu cemoohan mereka segera berubah menjadi tepuk tangan riuh.

Pendar Lilin

Di sebuah kerajaan, raja mempunyai dua orang putra yang beranjak menjadi dewasa. Mereka berdua sama pandainya dan baik hati. Melihat karakter dan kemampuan kedua putra mahkota, rakyat merasa lega dan berbahagia karena kelak, apabila raja turun dari tahta,  siapapun di antara kedua putra mahkota, pasti akan mampu memimpin kerajaan dengan baik dan bijak.

Akhirnya tiba waktunya, raja harus menentukan pilihan, siapa penerus tahta di antara  dua anak tersebut. Setelah memikirkan cukup lama, maka suatu hari dipanggillah keduanya untuk menghadap raja.

“Anakku! Ayah tahu kalian berdua sama-sama pandai, berprestasi serta dan mencintai kerajaan ini. Ayah menyayangi kalian dan tidak pernah membeda-bedakan. Umur ayah sudah semakin tua, suatu hari kelak, ayah harus menyerahkan tahta kerajaan ini kepada salah satu di antara kalian. Entah siapapun kelak yang memerintah kerajaan ini, kalian harus tahu dan mengerti, bahwa ayah tidak pernah meragukan kemampuan kalian dan tetap mencintai kalian sama besarnya.”

Setelah diam sejenak, sang raja melanjutkan, “Ada yang Ayah ingin kalian pikirkan baik-baik sebelum menjawab. Jawaban kalian akan menentukan seberapa besar kebijaksanaan yang kalian punyai untuk menjadi diri sendiri dan pemimpin di kemudian hari. Apakah kalian siap mendengar?” Keduanya menganggukkan kepala dan bersamaan menjawab, “Kami siap!”

Lalu sang raja memberi sekeping uang emas kepada kedua putranya sambil berkata, ”Dengan uang ini belilah benda atau apa saja yang dapat memberikan gambaran dan pandanganmu apabila engkau memimpin kerajaan ini”.

Tiga hari kemudian, saat malam tiba, satu persatu mereka menghadap raja. Si sulung ternyata membeli sebuah pena, diapun menjelaskan, “Pena adalah benda yang penting dan serba guna. Dengan pena ini, aku akan menulis semua yang Ayah inginkan dan rencanakan untuk kesejahteraan kerajaan ini.”

Saat si bungsu tiba, dia mengajak ayahnya masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap, dan menghidupkan lilin di tangannya sambil berucap, “Ayah, menurut ananda, seorang pemimpin sama seperti cahaya lilin ini, memberi penerangan bagi mereka yang ada di kegelapan dan menjadi panutan pada semua orang yang dipimpinnya. Dan setiap saat rela berkorban untuk penerangan itu sendiri.”

Sang raja sangat gembira dengan jawaban kedua putranya. Setelah menganalisa secara saksama, akhirnya sang raja memilih anak kedua sebagai calon penerus tahta kerajaan.



Gambaran seorang pemimpin sama seperti nyala sebuah lilin yang mampu menerangi dan menghangatkan seisi ruangan adalah tepat sekali, karena pemimpin bukanlah sekadar posisi yang hanya memerintah dan mengawasi. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk membimbing, membina, dan mengembangkan kelebihan orang yang dipimpinnya sehingga tercipta sinergi dalam proses  pencapaian cita-cita bersama.

Kepemimpinan adalah teladan, pengabdian dan proses tanggung jawab tanpa henti.

Delapan Kebajikan

Banyak orang yang sadar bahwa baik itu hal yang mulia, kebaikan itu sesuatu yang patut dijunjung dan diapresiasi. Tapi, entah mengapa, masih banyak juga orang yang—disadari atau tidak, terpaksa atau tidak—lebih memilih jalan yang berlawanan dengan kebaikan.

Tak jarang, atas alasan tertentu, seseorang merasa telah berbuat benar. Padahal, apa yang dilakukan di mata orang lain adalah sesuatu yang jauh dari kebaikan. Alasan ekonomi misalnya, sering menjadikan nilai-nilai kebaikan terlihat kabur. Tentu, masih ada banyak faktor yang bisa diperdebatkan kemudian, sebanyak alasan yang juga mungkin bisa dibuat untuk membenarkan sebuah tindakan.

Terlepas dari itu semua, bagi saya pribadi, kesuksesan seseorang dalam hidup sejatinya banyak ditentukan oleh nilai-nilai kebaikan/kebajikan. Hal utama yang menjadi penyaring adalah baik, benar, halal. Indikator ini mudah dikenali oleh hati, pikiran, dan jiwa yang bersih.

Agar lebih jelas, dalam tulisan ini, saya akan menyampaikan “delapan sifat mulia kebajikan”. Hal ini penting untuk kita ingat, sadari, dan praktikkan:

1. Bakti
Ini merupakan sikap berbakti terhadap orangtua, leluhur, dan guru. Sepertinya sederhana, tapi kadang kita lupa. Padahal, merekalah orang-orang yang memang pantas kita berikan penghormatan mendalam. Sebab, dari mereka kita belajar banyak hal yang berguna untuk kehidupan. Dari mereka kita mendapat banyak bekal untuk meraih kesuksesan. Sikap berbakti ini akan membuat kita selalu ingat, bahwa ada banyak nilai-nilai luhur yang bisa kita jadikan pegangan untuk meraih kebahagiaan sebenarnya.

2. Persaudaraan
Ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berlaku hormat terhadap yang lebih tua sebagai saudara sehingga selalu mampu memunculkan sifat rendah hati. Rasa saling menghargai antar saudara akan menjadi “penyaring” bagi kita untuk tidak berbuat hal-hal yang kurang bernilai baik. Sebab, dengan menjaga persaudaraan, kita akan selalu ingat, bahwa setiap perbuatan yang baik—dan sebaliknya, kurang baik—juga akan berdampak langsung atau tidak langsung pada hubungan persaudaraan. Dengan begitu, kita akan selalu bisa menjaga amanah dalam segala tindakan.

3. Kesetiaan
Ini merupakan nilai kesetiaan terhadap atasan, teman, dan kerabat. Sikap ini akan membuat kita punya nilai karena kita mampu selalu berpegang teguh pada apa yang sudah diucapkan pada lingkungan sekitar. Sikap setia ini akan menjadikan kita selalu mengingat bahwa hidup ini tidak sendirian, sehingga kita selalu mampu menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup dengan sesama.

4. Dapat Dipercaya
Umumnya, orang yang dapat dipercaya akan mendapat banyak teman, relasi, bahkan pesaing yang menghormatinya. Karena itu, sikap dapat dipercaya yang dibuktikan dengan sifat dan sikap yang jujur, amanah, mampu memegang janji, dan berbagai kualitas mental positif lainnya, akan mengantarkan kita pada “pencapaian” hidup yang benar-benar berkualitas.

5. Susila
Ini merupakan nilai-nilai kepantasan yang harus kita pegang teguh dalam hidup bermasyarakat. Mulai dari menjauhi tindakan bersifat asusila, punya nilai bertata-krama yang baik, sikap sopan santun, berbudi pekerti luhur, dapat memperkuat integritas kita sebagai insan mulia yang punya nilai di mata masyarakat. Dalam hal ini, tentu kita sendiri yang bisa menjaganya.

6. Kebenaran
Ini merupakan sikap untuk senantiasa menjunjung tinggi kebenaran sejati atau suatu sifat solidaritas terhadap sesama. Bagi sebagian orang, nilai ini bisa jadi berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Namun, jika semua itu dikembalikan kepada hati nurani, pasti kita akan menemukan nilai kebenaran yang sejati. Sebab, pada dasarnya, kita sendiri sudah bisa menilai mana yang baik, mana yang buruk.

7. Sederhana
Sepertinya, sifat ini mudah dijalankan. Namun pada praktiknya, nilai sederhana yang diterapkan orang sangat berbeda-beda. Untuk itu, kita harus senantiasa berkaca dalam diri, sudah benarkah apa yang kita lakukan hari ini? Apakah nilai-nilai kesederhanaan yang telah kita jalankan, terutama agar hidup selalu berjalan harmonis dan seimbang di mata masyarakat dan lingkungan sekitar? Kita sendiri yang bisa menjalankan dan memilih melakukannya.

8. Tahu Malu
Budaya tahu malu ini sebenarnya akan menjadi penyaring utama dalam setiap tindakan agar hal yang kita lakukan pun menjadi lebih bernilai bagi sekitar.

Mari kita coba kembali berkaca. Kita telusuri dalam diri dan segera perbaiki, nilai-nilai kebajikan yang barang kali mulai luntur di antara kita. Tentunya, agar kita semua bisa meraih sukses dan kehidupan yang jauh lebih bermakna.

***

Selasa, 26 November 2013

Second Chance

Alkisah, di kesepian malam, tampak seorang pemuda berwajah tampan sedang memacu laju kendaraannya. Karena kantuk dan lelah yang mendera, tiba-tiba ia kehilangan kesadarannya dan gubraaak.....mobil yang dikendarainya melintasi trotoar dan berakhir dengan menabrak sebuah pohon besar.

Karena benturan yang keras di kepala, si pemuda sempat koma dan dirawat di rumah sakit. Saat kesadarannya mulai kembali, terdengar erangan perlahan. "Aduuuh...kepalaku sakit sekali. Kenapa badanku tidak bisa digerakkan. Oh..ada di mana ini?". Nanar, tampak bayangan bundanya sedang menangis, memegangi tangan dan memanggil-manggil namanya.

Lewat beberapa hari, setelah kesadarannya pulih kembali, ia baru tahu kalau mobil yang dikendarainya ringsek tidak karuan bentuknya dan melihat kondisi mobil, seharusnya si pengemudi pasti meninggal dunia. Ajaibnya, dia masih hidup (walaupun mengalami gegar otak lumayan parah, tulang paha yang patah menjadi enam, dan memar di sana-sini; hal ini membuatnya harus menjalani operasi dan proses terapi penyembuhan yang lama dan menyakitkan).

Saat pamannya datang menjenguk, si pemuda menggerutu tidak puas pada kehidupannya, "Dunia sungguh tidak adil! Sedari kecil aku sudah ditinggal oleh ayahku. Walaupun aku tidak pernah hidup berkekurangan tetapi teman-temanku jauh lebih enak hidupnya. Gara-gara Bunda membelikan mobil jelek, aku jadi celaka bahkan kini cacat pula wajah ini. Oh...sungguh sial hidupku.."

Pamannya yang kenal si pemuda sedari kecil menegur keras, "Anak muda. Wajahmu rupawan tetapi jiwamu ternyata tidak. Bundamu bekerja keras selama ini hingga hidupmu berkecukupan. Lihatlah sekelilingmu, begitu banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Tidak perlu menyalahkan orang lain. Kecelakaan ini karena kesalahanmu sendiri! Pernahkan kamu pikirkan, seandainya kecelakaan itu merenggut nyawamu, bekal apa yang kamu bawa untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatanmu di hadapan Sang Khalik? Tuhan begitu baik, memberi kesempatan kedua kepadamu untuk hidup lebih lama. Itu artinya, kamu harus hidup lebih baik! Apakah kamu mengerti?"

Si pemuda terpana sesaat dan lirih menjawab, "Terima kasih paman. Saya akan mengingat nasihat paman. Biarlah luka di wajah ini sebagai pengingat agar aku tahu diri dan mampu untuk bersyukur".


Setiap hari di setiap tarikan napas kita sesungguhnya adalah "kesempatan kedua" di dalam kehidupan kita. Kesempatan untuk selalu mengingat kebaikan yang telah kita terima dan mengingatkan kita untuk selalu berbuat bajik kepada sesama. Mari, manfaatkan setiap kesempatan yang ada dengan menjalankan ibadah dan amanah.

Beri Kesempatan bagi Diri Sendiri

Suatu hari, di tepian sebuah sungai, tampak dua orang kakak beradik sedang bercanda dengan riangnya. Tiba-tiba, karena kurang hati-hati dan tanpa disengaja, si adik terjatuh ke dalam sungai yang cukup dalam, padahal mereka berdua tidak bisa berenang. Sambil berteriak-teriak ketakutan, si kakak meminta tolong. Akan tetapi datangnya pertolongan terlambat. Saat ditemukan, si adik telah terbujur kaku tidak bernyawa lagi.

Kedua orangtuanya, sanak saudara serta orang-orang di sana, walaupun merasa berduka karena meninggalnya si adik, tetapi mereka tidak menyalahkan si kakak. Mereka menerima musibah itu dengan lapang dada dan menganggap bahwa semua itu sudah suratan takdir dari Yang Maha Kuasa.

Namun, berbeda dengan si kakak. Sejak kejadian itu, dia berubah menjadi anak yang pemurung dan suka menyendiri. Dia tidak berani menghadapi orang-orang. Hatinya senantiasa didera perasaan bersalah. Setiap hari dia sibuk menyalahkan dirinya sendiri dia memvonis dirinya sendiri telah "membunuh" (menyebabkan kematian) adiknya sendiri yang sangat disayanginya. Walaupun orang-orang di sekelilingnya telah berusaha memberi pengertian bahwa kejadian itu adalah sebuah kecelakaan dan dia bukanlah seorang "pembunuh", tetapi tetap saja si kakak tetap merasa bersalah dan sangat menyesal.

Hingga suatu hari, ibunya terbaring sakit. Si kakak setia menemani, sambil dipenuhi rasa takut akan kehilangan lagi.

“Anakku, ibu telah kehilangan anak-anak ibu.”

“Tidak, Bu. Kan masih ada ananda, Bu..” ujarnya sambil terisak.

“Ibu tahu kamu ada tetapi seperti tidak ada. Sejak adikmu pergi, jiwa kamu pun seakan ikut dibawa pergi. Apa lagi yang tersisa untuk kami, ayah dan ibumu? Rumah ini terasa mati tanpa semangat dan keceriaan seperti dulu. Nak, ibu tahu kamu sangat menyayangi adikmu, tetapi dia telah pergi untuk selamanya. Caramu menghukum diri, tidak akan mengembalikan adikmu lagi, bahkan membuat ayah dan ibu tambah bersedih. Ibu rasa, cukup sudah dukamu. Masih ada kami, ayah dan ibumu yang menyayangi dan membutuhkanmu,” ucap si ibu memohon sambil mengusap lelah mata tuanya.

Sambil terisak si anak berkata, “Maafkan ananda, Bu. Selama ini tanpa disengaja telah membuat ibu dan ayah bersedih. Ananda berjanji akan merubah pola pikir dan sikap saya selama ini. Ananda akan berusaha mengubah diri dan membahagiakan ibu serta ayah. Sekali lagi, maafkan ananda, Bu..”Mereka pun berpelukan dalam keharuan.



Dalam putaran kehidupan ini, seringkali karena ulah kita yang tidak sengaja, kadang berdampak pada musibah atau kerugian orang lain. Sehingga timbul perasaan bersalah, sulit memaafkan dan cenderung terus menerus menghukum diri sendiri. "Beban" yang dipikul itu akan membawa kita pada penderitaan hidup yang berkepanjangan.

Lalu dengan perasaan bersalah seperti itu apakah keadaan bisa berubah? Apapun yang telah terjadi, kita harus bisa menerima setiap risiko dengan jiwa besar. Berusahalah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menata ulang kehidupan dan berani menghadapinya dengan berjuang keras hari demi hari. Niscaya keberadaan kita punya nilai bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
 

Resep Mempertahankan Cinta

Dikisahkan, di sebuah keluarga besar, ada sepasang kakek yang tampak serasi dan selalu harmonis satu sama lain. Suatu hari, saat berkumpul bersama, para cucu bertanya mendatangi mereka berdua.
“Kakek, nenek...., tolong beritahu kepada kami resep akur dan cara mempertahankan cinta selama ini, agar kami yang masih muda ini bisa belajar,” kata seorang cucu.

Mendengar itu, sesaat kakek dan nenek beradu pandang sambil saling melempar senyuman mengasihi yang begitu kentara menyelimuti di antara mereka. “Nenek  yang akan bercerita dan menjawab pertanyaan  kalian,” kata kakek.

Sambil menerawang ke masa lalu, nenek pun memulai. “Ini pengalaman kakek dan nenek yang tak mungkin terlupakan dan rasanya perlu kalian dengar dengan baik”.

“Suatu hari, kami berdua terlibat obrolan tentang sebuah artikel di majalah yang berjudul ‘Bagaimana Memperkuat Tali Pernikahan’. Di situ dituliskan, masing-masing dari kita sebaiknya mencatat hal-hal yang kurang disukai dari pasangan kita. Kemudian, dibahas cara untuk mengubahnya agar ikatan tali pernikahan bisa lebih kuat dan bahagia. Nah, malam itu, kami sepakat berpisah kamar dan mencatat apa saja yang tidak disukai.

Esoknya, selesai sarapan, Nenek memulai lebih dulu membacakan daftar ‘dosa’ kakekmu sepanjang kurang-lebih tiga halaman. Pikir-pikir, ternyata banyak juga ya dan herannya lagi, segitu banyak yang tidak disukai tetapi tetap saja kakek kalian menjadi suami tercinta nenekmu ini,” kata nenek sambil tertawa sekaligus mata tuanya tampak berkaca-kaca mengenang kembali saat itu.

Lalu lanjut nenek, “Nenek membacanya hingga selesai dan kelelahan! Dan Sekarang giliran kakekmu yang lanjut bercerita”.

Dengan suara perlahan,si kakek meneruskan, “Pagi itu, kakek membawa kertas juga, tetap kosong. Kakek tidak mencatat sesuatu pun di kertas itu. Kakek merasa nenekmu adalah wanita yang kakek cintai apa adanya, kakek tidak ingin mengubahnya sedikit pun. Nenekmu cantik, baik hati, dan mau menikahi kakekmu ini, itu sudah lebih dari cukup bagi kakek.”

Nenek segera melanjutkan, “Nenek sungguh sangat tersentuh oleh pernyataan kakekmu itu sehingga sejak saat itu, tidak ada masalah atau sesuatu apapun yang cukup besar yang dapat menyebabkan kami bertengkar dan mengurangi perasaan cinta kami berdua”.
    
Seringkali di kehidupan ini, kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan, dan yang menyakitkan. Pada hal, pada saat yang sama kita pun sebenarnya punya kemampuan untuk bisa menemukan banyak hal indah di sekeliling kita.

Saya yakin dan percaya, kita akan menjadi manusia yang berbahagia jika kita mampu berbuat, melihat dan bersyukur atas hal-hal baik di kehidupan ini. Juga, senantiasa mencoba untuk melupakan yang buruk yang pernah terjadi. Dengan demikian, hidup kita bisa dipenuhi dengan keindahan, pengharapan, dan kedamaian.

Setuju, kan’? Selamat mencoba. Salam sukses, luar biasa!

Citra Diri

Alkisah dalam sebuah seminar di kampus, seorang perempuan muda tampil berdiri di atas panggung untuk sharing melalui tulisan. Namanya Huang Mei Lian, kelahiran Taiwan. Waktu kecil ia terkena lumpuh otak, karena lahir prematur, kekurangan oksigen dan pendarahan di otak, yang telah merampas keseimbangannya dalam bergerak, serta merampas kemampuannya untuk berbicara.

Namun, ia tidak terkalahkan oleh kesulitan yang dialaminya. Bahkan, dia sangat berani menempuh hidupnya yang penuh ketidakmungkinan. Dengan perjuangan keras, Huang Mei Lian berhasil mendapatkan gelar PhD atau  “Doktor bidang seni” dari sebuah universitas di California, AmerikanSerikat. Dia biasa menggunakan tangannya sebagai kuas, dan menggunakan warna-warni ceria dalam lukisannya, yang menyampaikan kepada kita semua, akan “keindahan dan kekuatan alam semesta”, serta makna “kehidupan yang penuh warna”.

Pada sesi Tanya Jawab, seorang mahasiswa mengangkat tangan, mengajukan pertanyaan. “Doktor Huang, Anda dari kecil telah menghadapi keadaan yang begitu sulit. Bagaimana cara Anda menerima diri sendiri? Apakah cacat fisik yang Anda miliki itu,  tidak pernah membuat Anda kesal atau menyesali diri?”

Para mahasiswa dan dosen yang hadir di seminar itu terkejut. Mereka khawatir pertanyaan itu akan menyinggung perasaan Huang Mei Lian, serta merasa was was, apakah dia bersedia menjawab pertanyaan tersebut.

“Bagaimana anggapan saya tentang diri saya?” Huang Mei Lian menulis dengan huruf besar dan tegas di papan tulis yang disediakan. Setelah selesai menulis pertanyaan itu, dia berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang, melihat ke arah mahasiswa yang mengajukan pertanyaan tersebut, kemudian tersenyum. Ia membalikkan badan lagi ke arah papan tulis, lalu mulai menuliskan dengan cekatan dan rapi:

- Saya, Huang Mei Lian, imut..
- Kaki saya sangat panjang dan sangat cantik..
- Papa dan mama saya sangat mencintai saya.
- Tuhan sangat mengasihi saya.
- Saya bisa melukis dan lukisan saya disukai banyak orang.
- Saya bisa menulis, yang membuat saya memiliki banyak teman
- Saya mempunyai seekor kucing yang lucu.


Ruangan tersebut hening, tidak ada seorang pun yang berkata-kata. Huang Mei Lian kembali menoleh dan melihat reaksi para pengikut seminar, dan kemudian kembali menghadap papan tulis untuk menambahkan tulisannya sebagai sebuah kesimpulan singkat.

“Saya hanya melihat dan bersyukur pada apa yang saya miliki. Saya tidak melihat dan tidak menyesali apa yang tidak saya miliki.”

Dengan spontan, tepuk tangan yang meriah kemudian bergema di gedung seminar tersebut. Mei Lian membungkukkan badannya di atas panggung. Senyum penuh kebanggaan yang manis dan ceria, terpampang jelas di wajahnya.


Sering kali manusia mengukur kebahagiaan dengan cara yang kurang tepat. Kita merasa pantas berbahagia pada saat kita mampu mendapat apa yang kita inginkan. Kadang kita lupa bersyukur dan berbahagia karena apa yang telah kita punya.  Dengan keterbatasan fisik, Huang Mei Lian tidak pernah menyesali yang tidak dipunyai dan selalu bersyukur serta fokus pada apa yang dimiliki. Sungguh sebuah inpirasi yang bijaksana.

Mari, kita selalu mensyukuri, apa pun keadaan kita hari ini. Seperti pepatah Tiongkok kuno mengatakan: "Kelahiranku di dunia ini pasti punya makna.”

Salam sukses Luar Biasa!!


 
Alkisah, sebuah liburan panjang diisi oleh sekumpulan sahabat untuk melakukan reuni. Sudah dua puluh tahun lebih mereka berpisah dan baru tahun itu mereka bisa berkumpul. Untuk itu, mereka sepakat untuk menemui gurunya ketika bersekolah dulu. Mereka hendak berterima kasih, bahwa dengan ajaran dari sang guru, mereka kini telah sukses dengan bidangnya masing-masing.

Maka, di sebuah sore yang hangat, mereka pun datang bersama-sama mengunjungi sang guru. Mereka saling bercanda, mengenang masa kenakalan ketika remaja. Kemudian satu sama lain mulai berkisah tentang perjuangan hidup yang mereka lalui. Ada yang sudah jadi bos besar di perusahaan multinasional. Ada pula yang menjadi pengusaha sukses di bidang transportasi. Ada pula yang mengaku sudah melanglang buana ke hampir semua benua untuk memenuhi impiannya.

Melihat percakapan seputar kesuksesan yang sudah hampir melampaui batas, sang guru pun meminta izin untuk ke belakang rumah. Rupanya, ia mengambil beberapa cangkir kopi dan satu teko berisi kopi panas yang siap diseduh. Uniknya, cangkir yang diberikan terdiri dari beragam bentuk dan terdiri pula dari beragam bahan. Ada yang dari keramik, kristal, kaca, melamin, dan ada pula yang hanya terbuat dari plastik biasa.

“Sudah, sudah.. Ngobrolnya berhenti dulu. Ini Bapak sudah siapkan kopi buat kalian,” sebut sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.

Hampir serempak, mereka kemudian berebut cangkir terbaik yang bisa mereka dapat. Akhirnya, di meja yang tersisa hanya satu buah cangkir plastik yang paling jelek. Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya, sang guru pun mulai menuangi cangkir itu dengan kopi panas dari teko yang telah disiapkannya.

“Mari, silakan diminum,” ajak sang guru, yang kemudian ikut mengisi kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek. “Bagaimana rasanya? Nikmat kan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri.”

“Wah, enak sekali Pak.. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum,” timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.

“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian tadi memperhatikan. Kalian hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang paling bagus hingga hanya menyisakan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.

Murid-murid itu pun saling berpandangan. Mereka bertanya-tanya, apa maksud gurunya bertanya seperti itu. Maka sang guru pun kembali meneruskan ucapannya. “Tak salah memang untuk memilih apa saja yang terbaik. Malahan, itu sangat manusiawi. Tapi masalahnya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus, perasaan kalian mulai terganggu. Kalian melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Akibatnya, pikiran kalian terfokus pada cangkir. Padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkir, melainkan kopinya. Dan, kalian sendiri mengaku bahwa kopi ini adalah kopi terenak. Jadi, tolong pikirkan baik-baik. Hidup kita seperti  kopi dalam cangkir tersebut. Sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kalian miliki.”

Sang guru pun kembali meneruskan wejangannya. “Karena itu, jangan pernah biarkan cangkir memengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, sebab kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus, dan pekerjaan mapan yang kalian banggakan tadi merupakan jaminan kebahagiaan. Namun sejatinya, kualitas hidup kita ditentukan oleh ‘apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’. Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, sukacita, dan rasa bahagia dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal. Jadi, kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya.”

Semua murid itu pun tertunduk malu. Mereka merasakan inilah reuni yang membuat mereka kembali “membumi”. Mereka pun berjanji, akan menjadikan pembelajaran cangkir kopi tersebut untuk menjadikan sukses yang diraih memberi kemanfaatkan kepada lebih banyak orang, dan bukannya menjebak mereka dalam kesombongan.


Status, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan, kesuksesan, keterkenalan, adalah sebuah predikat yang disandang. Tak salah jika kita mengejarnya. Tak salah pula bila kita ingin memilikinya. Namun, semua itu tak akan kita miliki selamanya. Semua hanya akan langgeng jika kita sebagai subjek—alias pemilik sejati kekayaan yang sebenarnya—memiliki kualitas dalam diri yang bersih, bernilai, bermartabat, dan penuh kebersahajaan.

Ibarat pepatah, manusia mati meninggalkan nama, maka nama seperti apa yang akan dikenang orang, itulah cerminan sejati apa yang sudah kita berikan pada sekeliling kita selama ini. “Nama” itulah “isi kopi” sesungguhnya yang harus kita jaga, rawat, dan sekaligus kita bagi untuk mendatangkan kemanfaatan pada lebih banyak orang.

Mari, kita jadikan “isi” dalam diri kita sebagai cerminan positif yang bisa selalu kita hadirkan untuk mendatangkan keberkahan, kebahagiaan, dan kesuksesan sejati.

Anjing dan Seorang Menteri

Alkisah, ada seorang raja yang memiliki 10 anjing ganas untuk menghukum karyawan istana yang bersalah sampai menterinya. Jika sang Raja menilai orangnya bersalah dan tidak berkenan atas kesalahan tersebut, mereka akan dilempar ke kandang anjing agar dicabik dan dimangsa oleh anjing-anjing ganas tersebut.

Suatu hari, seorang menteri membuat sebuah keputusan yang dianggap salah sehingga membuat Raja murka.  “Menteri! Atas kesalahan yang telah kamu perbuat, rajamu memerintahkan hukuman segera dijalankan. Besok, giliranmu masuk ke kandang anjing,” perintah Raja.

Si Menteri dengan wajah pucat berkata, “Paduka, hamba telah mengabdi kepada Paduka dan pekerjaan ini selama 15 tahun. Atas pengabdian hamba selama ini, hamba mohon waktu penundaan hukuman selama 30 hari saja. Setelah 30 hari, hamba akan menghadap dan siap menjalani hukuman.”  Sang Raja, setelah berpikir sejenak, akhirnya mengabulkan permintaan menterinya itu.

Dari sana, si menteri bergegas menuju kandang anjing dan meminta izin kepada penjaga untuk membantu mengurus anjing-anjingnya selama 30 hari. Walaupun merasa heran, tetapi karena menteri senior yang meminta, dia pun mengizinkannya. Sejak saat itu, si menteri membantu memelihara anjing-anjing, memberi makan, memandikan, membersihkan kandang, dan memberi perhatian dengan sebaik-baiknya. Setelah 30 hari, anjing-anjing itu pun menjadi jinak kepada si menteri.

Tibalah waktu eksekusi. Disaksikan Raja, dimasukkanlah menteri itu ke kandang anjing. Akan tetapi, betapa terkejutnya raja, saat melihat anjing-anjing ganasnya itu justru jinak padanya. Apa yang terjadi? Si menteri pun menjawab merendah, “Paduka, hamba telah ‘mengabdi’ pada anjing-anjing ini selama 30 hari dan mereka tidak melupakan jasaku. Tapi paduka… hamba telah mengabdi kepada kerajaan ini selama 15 tahun, dan paduka tega menjatuhkan hukuman ini pada saya. Mohon ampuni kesalahan saya.” Mendengar perkataan menterinya, baginda raja tersentak kesadarannya. Dengan rasa haru, akhirnya si menteri pun dibebaskan dari hukuman.


Dalam perjalanan kehidupan ini, sesungguhnya tidak terhitung jasa kebaikan yang telah kita terima. Baik dari orang yang tidak kita kenal, maupun terlebih dari orang-orang terdekat kita. Selayaknya kita bisa menghargai dan membalas kebaikan itu. Jangan hanya karena kejadian sesaat yang tidak mengenakkan, kita begitu mudah menghapus persahabatan atau persaudaraan yang telah terukir bertahun-tahun lamanya.

Mari, jadikan setiap kebaikan membuahkan kebaikan, sehingga setiap insan di muka bumi ini hidup dengan rasa aman, damai, dan membahagiakan.

Indahnya Berbagi

Suatu kali, seekor ulat tampak kelaparan. Di depannya, tampak pohon mangga yang sedang menghijau dengan dedaunan segar. Ulat yang sedang kelaparan pun menghampiri pohon mangga tersebut, lalu segera memanjat untuk memakan dedaunan itu.

“Hei ulat, sedang apa kamu?” tegur pohon mangga.

Ulat, saking laparnya, lupa meminta izin kepada pohon mangga. “Maaf, aku ke sini hanya ingin memakan sedikit dari bagian daunmu. Aku sangat lapar,” jawab ulat memelas.

“Asal kamu tahu saja ya. Di sini tanahnya tandus. Daun-daun yang ada di batangku ini tidak banyak. Kalau kamu makan di sini, lalu daunku banyak yang mati, bagaimana aku akan hidup kelak?” tolak pohon mangga dengan halus. “Dan, kalau sampai daun-daunku ini habis, maka aku tak akan bisa berbunga . Aku hanya akan jadi pohon tua tanpa bisa berbuah. Pemilik pohon akan menebangku.”

Ulat mengangguk, tanda mengerti kegelisahan pohon mangga. “Baiklah kalau kamu takut. Aku akan pergi, meskipun sebenarnya aku sudah tak kuat lagi. Aku benar-benar lapar dan butuh makan,” jawab ulat dengan nada berat. Terseok-seok, ia pun hendak pergi mencari makanan lain.

Melihat itu, pohon mangga merasa tidak tega. Ia pun akhirnya memanggil ulat kembali. “Wahai ulat, kalau kamu pergi dengan keadaan itu, kamu bisa mati. Aku pun tidak tega. Maka, makanlah daunku. Tapi, pastikan jangan sampai membuat aku mati. Makan seperlumu saja.”

Ulat pun sangat berterima kasih kepada pohon mangga karena ia bisa kembali makan. “Terima kasih, pohon mangga yang baik. Aku tidak akan melupakan jasamu. Aku berdoa, semoga hujan segera turun, sehingga membuat tanah kembali subur dan daunmu lebih lebat lagi,” ucap ulat dengan tulus.

Rupanya, doa si ulat dikabulkan. Tidak beberapa lama, mendung tampak memayungi bumi. Matahari yang tadi sangat terik, pelan-pelan tertutupi awan yang siap menumpahkan hujan. Angin yang bertiup pun segera membawa hawa sejuk yang diiringi rintik hujan. Pohon mangga bersorak kegirangan. Ia kembali mendapat kesejukan sehingga tanah tandus di sekitarnya kini menyediakan air yang berlimpah untuk membuatnya subur kembali.


Beberapa waktu kemudian, tampak pohon mangga makin menghijau dan rimbun daunnya. Tetapi, hingga beberapa lama, pohon mangga itu rupanya belum berbuah juga.

Suatu kali, ulat yang sudah cukup lama hidup dengan memakan daun pohon mangga, berubah menjadi kepompong. Pada saatnya kemudian, ulat menjadi kupu-kupu indah.

“Wahai pohon mangga temanku yang baik, kali ini tiba giliranku membantumu. Aku akan terbang mencari saripati mangga lain untuk aku bawa kemari. Semoga bisa membuatmu berbuah lebat, seperti keinginanmu.”

Begitulah, mereka saling membantu. Serbuk saripati mangga yang dibawa kupu-kupu setiap kali terbang, menjadikan pohon mangga memiliki buah ranum dan manis. Sang pemilik pohon itu pun makin menyayangi pohon mangga. Ia rutin memberikan pupuk tanaman terbaik. Kini, pohon mangga yang dulu tumbuh seadanya dan bahkan nyaris mati, bisa tumbuh subur berkat kebaikannya membantu sang ulat.


Keindahan saling tolong-menolong, tergambar jelas dalam kisah di atas. Perbuatan baik memang pasti akan mendapat balasan kebaikan.

Demikian juga dalam kehidupan di dunia ini. Kita memang tidak pernah tahu, tidak pernah mengerti, mengenai timbal balik suatu kebaikan. Tapi, hampir selalu pasti, kebaikan itu akan membawa lebih banyak keberkahan. Kadang, datangnya pun tak kita duga-duga. Kadang di saat kesulitan, tiba-tiba ada saja yang membantu kita. Kadang, apa yang kita sebut sebagai “kebetulan” sebenarnya merupakan “buah” dari kebaikan yang dulu pernah kita lakukan.

Di sinilah, konteks keikhlasan dan ketulusan dalam membantu orang lain akan membawa keberkahan dan kebahagiaan. Mungkin tidak selalu “dibalas” secepat yang kita harapkan. Tetapi saat kita “melupakan”, bisa jadi berbagai kebaikan malah datang tanpa kita harapkan. Itulah Hukum Tuhan yang universal.

Karena itu, terus bawa dan tularkan kebaikan ke mana pun dan di mana pun kita berada. Mari berbagi dengan apa yang kita bisa. Baik tenaga, pikiran, waktu, atau materi. Semua itu akan menjadi “modal” sekaligus “tabungan” yang akan mengantarkan kita pada hidup penuh keberuntungan. Hidup penuh kelimpahan.

Sepatu Sang Permaisuri

Dikisahkan, di sebuah kerajaan, sang raja sangat mencintai istrinya yang cantik jelita. Semua keinginan sang permaisuri selalu dipenuhi. Di antara barang-barang mewah kepunyaannya, sang permaisuri sangat menyukai sepatu. Dia mengkoleksi ribuan sepatu. Dimanapun ada perancang sepatu yang terkenal, maka sang permaisuri memiliki koleksinya.

Saking banyak sepatunya, bila permaisuri hendak pergi, minimal beliau butuh waktu lebih dari 1 jam untuk memilih sepasang sepatu yang akan dikenakan. Itu menyebabkan sang permaisuri tertekan, mengalami sakit kepala hingga ke tulang belakang. Dari hari ke hari, penyakitnya semakin parah dan tidak kunjung membaik. Banyak dokter didatangkan ke istana untuk mengobati permaisuri, tetapi  tidak ada satupun yang berhasil.

Akhirnya raja membuat sayembara, “Barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit sang permaisuri akan diberi hadiah 50 keping emas.” Maka seluruh rakyat negeri itu pun berusaha mengerahkan berbagai macam cara untuk menyembuhkan ratu mereka, tetapi tidak juga berhasil.

Suatu hari, datang seorang pengemis ke istana. Walaupun berusaha diusir, tetapi si pengemis berteriak-teriak gaduh, memohon diizinkan bertemu permaisuri. Kebetulan sang permaisuri mendengar dan membolehkan si pengemis bertemu dengannya.

“Permaisuri yang cantik jelita, apa gerangan sakit yang diderita..?”

Tanpa basa-basi, permaisuri pun menceritakan sakit dan penderitaannya.

“Oooh hamba mengerti sekarang. Sekarang, tolong perhatikan sekujur tubuh hambamu ini. Lihat, kedua kaki hamba ini, cacat dari lutut k ebawah karena dimangsa binatang buas saat mencari kayu di hutan. Memang kaki hamba tidak utuh lagi, tetapi hamba masih hidup! Dan itu anugerah terbesar buat hamba. Dan saat ini, hamba kembali bersyukur. Tidak harus sakit seperti putri, karena hamba tidak butuh sepatu yang harus dipakai."

Setelah mendengar perkataan si pengemis, sang permaisuri mendadak berseru gembira, “Aha, terima kasih, Paman! Dibandingkan paman yang tidak memiliki kaki, saya harusnya bersyukur masih memiliki sepasang kaki yang utuh. Saya akan berikan sepatu-sepatu itu kepada orang lain dan saya sisakan beberapa saja. Dengan demikian, saya tidak perlu kebingungan karena harus memilih sepatu. Mudah-mudahan sakit saya pun akan pergi bersama sepatu-sepatu itu. Terima kasih sekali lagi, Paman”.


Sering kali, manusia lupa bersyukur dan sibuk mengeluh (misalnya tidak memiliki sepatu yang bagus) sampai akhirnya tersadarkan saat dia bertemu dengan orang yang hanya memiliki sepasang sepatu butut atau bahkan tidak memiliki kaki sama sekali.

Mempunyai keinginan atau cita-cita besar boleh-boleh saja, asal bukan dilandasi dengan perasaan serakah dan benci. Bila mengejar cita-cita dengan landasan berpikiran yang salah, maka pasti akan berakhir dengan ketidakbahagiaan. Lalu untuk apa punya kelebihan atau sukses tapi tidak bahagia? Jadi tentu... mampu bersyukur juga merupakan suatu kebahagiaan.

Alkisah, di sebuah hutan, terdapat sebuah bunga anggrek yang tumbuhnya menempel pangkal batang sebuah pohon besar. Anggrek sangat nyaman bersama sang pohon karena selain bisa mendapat makanan yang cukup, ia juga terlindung dari teriknya sinar matahari dan derasnya air hujan yang mengguyur.

Namun, suatu kali, bencana besar datang. Angin bertiup kencang saat itu, disertai hujan sangat lebat. Tiba-tiba petir menyambar. ”Blaaarr!!” dengan kerasnya, tepat di di pohon besar tempat anggrek bernaung.

Batang yang tadinya besar dan kokoh, kini patah beberapa bagian. Pohon yang tadinya jadi rumah si anggrek, telah hancur, hampir berantakan.

Anggrek menangis sejadi-jadinya, ketakutan akan masa depannya. “Pohon… kamu selama ini yang melindungi aku dari panas dan hujan. Kenapa kamu jadi begini? Kamu juga baik mengizinkan aku mengambil sebagian makanan dari batangmu. Sekarang…Kamu sendiri hanya tersisa beberapa daun hijau di sebagian sisa batangmu. Siapa lagi yang akan melindungiku?”

Pohon yang tersisa, melihat anggrek terus menangis, menyapa sahabatnya itu. “Wahai anggrek. Jangan menangis. Aku pun mengalami kejadian yang sangat menyulitkan. Tapi, aku bersyukur bisa tetap hidup meski hanya dengan sedikit sisa daun di batangku ini. Aku yakin, dengan sisa ini, aku akan tetap bisa kembali tumbuh, meski tak sesempurna dulu lagi. Begitu juga kamu. Lihatlah, kilau mentari pagi yang kini langsung mengenaimu. Kamu tampak semakin indah, ditambah embun yang menempel di tubuhmu. Panas mentari dan hujan yang langsung mengenaimu, pasti akan membuatmu semakin subur, cantik dan berbunga lebih banyak. Tentunya akan makin banyak yang mengagumi keindahanmu.”

Anggrek tersentak dengan ucapan pohon sahabatnya itu. Ia kini sadar. Ujian semalam ternyata malah membuka hal lain yang tak pernah terpikirkan selama ini. Anggrek yang indah, ternyata jauh lebih indah saat terkena pancaran mentari langsung. Air yang mengenainya langsung, juga membuat anggrek tumbuh lebih subur.

Sahabat ,

Sama dengan kita yang sering terlena di zona nyaman, kadang tidak lagi merasa harus belajar dan memperbaiki diri. Makin nyaman seseorang, ia tak mau lagi beranjak pergi.

Padahal, di luar sana, kadang tersedia peluang yang jauh lebih indah, lebih menyenangkan, lebih menghasilkan, banyak yang masih bisa digali. Hal itulah yang kadang-kadang membuat seseorang menjadi berhenti, melambat, dan malah akhirnya kemudian terlibas oleh kemajuan zaman atau perubahan yang terjadi.

Peristiwa yang disebut musibah atau bencana sering diperlukan hadir untuk mengingatkan kita agar mawas diri dan mulai belajar lagi. Pada saat awal kejadian, sangat wajar kita mungkin “menangis” seperti sang anggrek. Namun perlu kita yakini, bahwa itu semua datang untuk membawa kita jadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Mari, terus bersiap diri. Evaluasi setiap hari, lakukan pembelajaran tiada henti. Tidak takut ancaman dan cobaan yang bisa datang setiap saat. Sebab seringkali di sanalah pertumbuhan mental sedang terjadi untuk menyongsong sukses yang akan kita raih.