Dua kata saja : BELAJAR BERUBAH, sudah menggambarkan hampir 100% inti dari sebuah pernikahan. Semua hal yang terjadi dalam pernikahan – hal baik maupun buruk – adalah bahan introspeksi diri sendiri dan hasil introspeksi tersebut dijadikan patokan untuk melakukan perubahan.
Beberapa pengalaman pribadi sederhana yang bisa saya bagikan tentang perubahan “before& after” pernikahan :
- Lebih peka terhadap ucapan. Ketika istri saya sedang bercerita, saya tidak sembarang ‘asal tembak’ seperti dulu, saya coba membayangkan bagaimana rasanya berada diposisinya sebelum berkomentar. Saya juga jadi belajar untuk memperlakukan orang lain seperti itu.
- Mengemudi lebih santai. Dahulu saya tergolong agak ‘sembrono’ dan tidak sabaran kalau mengemudi mobil. Istri sering mengeluh dan saya sering membela diri dengan menyalahkan pihak lain di jalanan (semua orang begitu kan?!). Tapi setelah saya melihat kedalam, ternyata memang saya yang perlu berubah dan, dengarkan perkataan saya berikut ini, merusak mood bahagia anda dengan ribut tentang jalanan sama sekali tidak sepadan! Lebih baik mengalah saja, toh mengemudi pelan juga tidak ada ruginya dan toh juga jalanan selalu macet, jadi ngebut atau tidak ngebut seringkali sampainya sama juga.
- Belajar untuk mengingat hal-hal yang baik dan tidak terlalu membesarkan hal-hal buruk. Pernikahan mengajarkan pada saya bahwa momen-momen indah perlu dihargai dan dipertahankan kelangsungannya. Terkadang kita melewatkan satu momen bahagia begitu saja dan tidak mengambil kesempatan itu untuk ‘menularkannya’ ke momen-momen yang lain. Sebaliknya, ketika ada satu momen tidak bahagia, kita cenderung mengingatnya dan terus membawanya ke momen-momen yang lain. Pernikahan saya sangat berharga bagi saya dan demi mempertahankan terus ’momen bahagia’, saya rela memaksa diri saya melepaskan segala yang tidak enak.
- Pola makan lebih sehat. Waktu masih single saya benci makan sayuran. Saya tahu itu bagus untuk kesehatan tapi saya tidak suka rasanya. Setelah menikah istri saya mengajarkan untuk merubah pola makan demi kesehatan jangka panjang. Walau awalnya pahit dimulut tapi saya lakukan juga karena demi kebaikan. Saya berterima kasih sekali pada istri saya dan sekarang saya sudah terbiasa makan sayuran.
- Belajar untuk rapi. Walau saya bukan tergolong orang yang berantakan sekali sewaktu single, tapi karena kami berkomitmen untuk tidak bergantung pada jasa pembantu, jadi saya banyak sekali diajari oleh istri untuk ‘rapi-rapi’ dan ‘cuci-cuci’ dan saya tidak malu sebagai seorang pria untuk melakukan itu. Malah, saya merasa bangga kalau saya ternyata mampu menjadi seorang pria yang kerjanya tidak hanya duduk dan nonton tv dirumah.
- Mengambil tanggung jawab sebagai Kepala. Waktu saya masih single saya bertanggung jawab hanya untuk diri saya sendiri. Tapi setelah menikah saya sadar bahwa saya adalah kepala. Hal itu berarti efek dari apa pun yang saya lakukan tidak berhenti di diri saya, tapi diteruskan kebawah yaitu ke anak dan istri saya. Kalau saya bekerja keras maka hasilnya akan diteruskan ke bawah, kalau saya malas maka kesusahan yang datang akan menimpa yang dibawah saya juga yaitu anak istri. Kalau saya terjatuh dalam dosa, maka seluruh rumah tangga saya akan kesulitan mencari hadiratNya. Kalau saya mempertahankan hidup kudus di mata Tuhan, maka hal itu bahkan dapat menghapuskan seluruh dosa yang dibuat oleh anak istri saya! (Lihat kisah Ayub 1:4-5, 1Korintus 7:14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar